..

Buku Antologi Esai dan Opini

Minat Baca Bukunya? Silahkan DM akun instagram @bud11smail

Buku Antologi Berbagai Genre

Minat Baca Bukunya? Silahkan DM akun instagram @bud11smail

Buku Antologi Berbagai Genre

Minat Baca Bukunya? Silahkan DM akun instagram @bud11smail

Buku Antologi Kisah Nyata Inspiratif

Minat Baca Bukunya? Silahkan DM akun instagram @bud11smail

Buku Antologi Narasi Eksposisi

Minat Baca Bukunya? Silahkan DM akun instagram @bud11smail

03 Oktober 2024

Menyongsong Indonesia (C)emas 2045

 

https://encrypted-tbn0.gstatic.com/


Lima tahun silam, tepatnya pada tanggal 9 Mei 2019, Presiden Joko Widodo meresmikan Visi Indonesia Emas 2045. Gagasan ini dirumuskan oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional. Visi Indonesia Emas 2045 bertujuan untuk menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat, maju, adil, dan makmur pada tahun 2045.[1]

Visi Indonesia Emas 2045 dibangun dengan empat pilar berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.[2] Dalam empat pilar tersebut, pemerintah menempatkan Pembangunan Manusia serta Penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi sebagai pilar pertama. Sepertinya, pemerintah sadar bahwa kualitas sumber daya manusia menjadi faktor penting demi tercapainya Visi Indonesia Emas 2045.

Pemerintah telah menargetkan Indonesia menjadi negara unggul di tahun 2045. Saat itu, Indonesia genap berusia 100 tahun. Harapannya, di tahun tersebut Indonesia akan menikmati masa emasnya dan mampu bersaing dengan negara-negara maju lainnya di berbagai sektor. Namun, jalan menuju ke sana masih sangat panjang dan terjal. Upaya untuk mewujudkan impian tersebut tidaklah mudah. Apalagi kondisi Indonesia belakangan ini sedang tidak baik-baik saja. Berbagai permasalahan tentang kualitas sumber daya manusia masih menjadi tantangan untuk segera dicarikan solusinya.

Krisis Keteladanan dari Para Pejabat Negara

Sebagai penyelenggara negara, pejabat negara mempunyai tugas untuk memastikan layanan publik harus terlaksana dengan baik. Kepentingan masyarakat harus menjadi prioritas utama sehingga hak-hak mereka dapat terpenuhi. Karena sejatinya pejabat negara adalah para pelayan masyarakat.

Dalam melaksanakan tugasnya, pejabat negara diatur oleh undang-undang. Mereka juga diwajibkan untuk mengucapkan sumpah jabatan sebagai bentuk kesediaan dan komitmen mengabdikan diri untuk melayani masyarakat. Tak hanya itu, seorang pejabat negara harus mampu menjadi sosok panutan bagi masyarakat.

Sayangnya, yang terjadi kini bak jauh panggang dari api. Pejabat negara yang semestinya merupakan orang-orang terhormat dan berpendidikan, justru sering berperilaku amoral dan memalukan. Ada pejabat yang melakukan tindakan pelecehan dan mesum di ruang publik. Ada pejabat yang terbukti menguras uang negara untuk kepentingan diri dan keluarga. Ada pula yang merampas dana bantuan sosial untuk memperkaya diri.

Setiap hari kita dipertontonkan aksi-aksi tak terpuji dari pejabat negeri. Hal ini tak hanya meruntuhkan kepercayaan masyarakat kepada pejabat negara, tetapi juga menjadi contoh buruk yang bisa ditiru oleh siapa saja. Lihatlah, hari ini hampir seluruh lapisan institusi negara telah terpapar virus korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Kita pernah mengutuk kezaliman orde baru dengan Soeharto sebagai raja KKN. Namun, hari ini lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif justru ramai-ramai mewarisi ‘peninggalan’ orde baru tersebut.

Lembaga Pendidikan Makin Tak Mendidik

Bidang pendidikan sejatinya menjadi tumpuan utama untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Lembaga pendidikan baik formal maupun nonformal, umum ataupun keagamaan, memiliki peran penting untuk mencetak bibit-bibit unggul sebagai generasi penerus bangsa. Generasi yang tidak hanya pinter, tetapi juga pener. Tidak hanya berilmu, tetapi juga berakhlak. Sehingga ketika mereka kelak menjadi pejabat, akan menjadi pejabat yang jujur dan amanah. Kalaupun menjadi rakyat biasa, mereka akan menjadi rakyat yang patuh, disiplin, dan tak mudah berkonflik dengan siapapun.

Tanggung jawab besar yang diemban dunia pendidikan sejauh ini belum membuahkan hasil seperti yang diinginkan. Para pemangku kebijakan di bidang pendidikan seakan belum mampu menemukan formula yang pas untuk diterapkan di Indonesia. Menteri datang silih berganti, kurikulum diubah berkali-kali, tetapi kualitas pendidikan di Indonesia tak juga bisa diperbaiki. Entah, ini salah pembuat kebijakannya atau karena ketidakmampuan lembaga pendidikan dalam mengimplementasikan kebijakan. Satu hal yang pasti, dunia pendidikan di Indonesia masih saja terjebak dalam praktik-praktik pragmatisme. Parahnya lagi, ini tidak hanya dilakukan oleh murid tetapi juga guru, sekolah, yayasan, bahkan sang pembuat kebijakan sendiri.

Padahal pendidikan berkualitas yang merata merupakan salah satu misi pemerintah untuk mewujudkan visi Indonesia Emas 2045. Namun, faktanya ketimpangan kualitas pendidikan masih terlihat nyata. Di berbagai daerah masih banyak sekolah yang tak layak huni. Bangunan rusak parah, aksesnya susah, dan fasilitas penunjang kegiatan belajar mengajar tidak memadai.

Dunia pendidikan Indonesia juga dihadapkan pada persoalan dalam ranah etis. Berbagai kasus asusila terhembus dari lembaga pendidikan. Dosen melecehkan mahasiswa. Guru bertindak tak senonoh kepada murid. Murid berani menghajar gurunya. Tawuran antarpelajar masih merajalela, bullying dan body shaming masih terjadi di banyak sekolah.

Lembaga pendidikan seharusnya menjadi tempat untuk mengajarkan nilai-nilai kebaikan dan kejujuran. Namun, ketika ada orang tua yang rela memalsukan data agar anaknya bisa diterima di sekolah impian atau ada guru yang memberi nilai ‘gratisan’ kepada murid demi prestise sekolah, tentu ini menjadi pelajaran yang tidak baik bagi anak-anak.

Generasi Penerus Makin Tak Terurus

Jika Indonesia ingin mencapai masa emasnya di tahun 2045, tentu pemerintah harus menyiapkan generasi penerus yang andal dan tangguh mulai sekarang. Jika tidak, bisa jadi rencana jangka panjang yang sudah disusun matang oleh pemerintah akan berantakan di tengah jalan.

 Di tengah gempuran arus globalisasi dan melempemnya peran lembaga pendidikan di negara kita, menyiapkan generasi penerus yang berkualitas akan menjadi pekerjaan berat bagi pemerintah. Pemerintah harus benar-benar serius menangani permasalahan ini. Jangan sampai generasi penerus bangsa salah urus atau bahkan tak terurus.

Miris melihat pemuda-pemuda kita sekarang tumbuh menjadi generasi yang dimanjakan teknologi dan ‘dirusak’ oleh globalisasi. Kemajuan zaman yang tidak membuat mereka semakin pintar malah justru makin malas untuk belajar. Sedikit demi sedikit, generasi muda Indonesia mulai tak kenal sejarah tanah airnya, budaya bangsanya, dan warisan luhur para pendahulunya. Sulit berharap mereka akan tumbuh menjadi pribadi yang andal dan tangguh dengan jiwa nasionalisme dan patriotisme yang kokoh. Sementara tokoh-tokoh yang memperjuangkan kemerdekaan tanah airnya saja, tak lagi mereka kenal. Ini tak boleh dibiarkan.

Saat ini, banyak orang tua yang gagal menjalankan perannya untuk memberikan pendidikan dasar bagi anak-anaknya. Makin banyak kita jumpai orang tua yang sibuk mengurus bisnis sementara anaknya kesepian dalam tangis. Mereka mempunyai prinsip bahwa yang terpenting kebutuhan anak yang bersifat materiil telah terpenuhi. Padahal, ada kebutuhan nonmateriil, seperti kasih sayang, pendidikan agama, dan pendidikan akhlak yang juga penting untuk diperhatikan para orang tua.   

Faktor kunci ketercapaian visi Indonesia Emas 2045 adalah kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia. Jika saat ini kualitas SDM masih menjadi masalah serius di negara kita, maka perlu langkah-langkah serius untuk mengatasi masalah tersebut. Lantas, siapa yang harus bertanggung jawab? Pemerintah, lembaga pendidikan, ataukah orang tua? Ketiganya mempunyai tanggung jawab dengan fungsi dan perannya masing-masing,

Pembangunan SDM yang berkualitas dimulai dari lingkungan keluarga. Orang tua harus mampu menjadi guru pertama bagi anak-anaknya. Rumah harus menjadi sekolah pertama bagi mereka. Pembentukan karakter anak tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat. Butuh proses panjang melalui pembiasaan yang kontinu dan konsisten sejak dini. Di situlah peranan orang tua dan lingkungan keluarga sangat dibutuhkan.

Bagaimana dengan peran lembaga pendidikan? Lembaga pendidikan harus fokus pada esensi tujuan pendidikan nasional yang secara umum termaktub dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 yakni “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Program-program formalitas, kegiatan yang hanya bersifat seremonial, ataupun pola pikir pragmatisme dalam dunia pendidikan harus mulai ditinggalkan. Lembaga pendidikan tidak hanya sekadar melaksanakan pembelajaran, tetapi harus mewujudkan pendidikan manusia seutuhnya. Perilaku-perilaku negatif di lembaga pendidikan juga harus dihilangkan agar para peserta didik merasa aman dan nyaman dalam belajar.

Jika orang tua dan lembaga pendidikan telah menjalankan fungsinya dengan baik, maka pemerintah harus memberikan dukungan yang optimal untuk mewujudkan pembangunan manusia yang berkualitas. Pembangunan manusia yang berkualitas tidak hanya melalui pendidikan saja. Infrastruktur yang memadai, kualitas kesehatan yang baik, perekonomian nasional yang stabil, dan aspek-aspek lainnya juga harus mendukung.  Selain itu, sikap dan perilaku pejabat pemerintahan juga harus memberikan teladan yang baik kepada masyarakat. Bagaimana mungkin pemerintah akan berhasil membangun kualitas SDM kalau mereka sendiri tidak berkualitas.    

Visi sudah dicanangkan. Mimpi Indonesia untuk menikmati masa keemasannya harus tetap kita pelihara. Dengan masih banyaknya permasalahan yang dihadapi oleh bangsa ini, wajar jika kita menyongsong visi Indonesia Emas dengan gemas dan cemas. Namun, kita harus tetap optimis dan gigih agar langkah kita tidak tertatih.

***

Baca tulisan menarik lainnya di buku ini !






[1] Bappenas, Ringkasan Eksekutif Visi Indonesia 2045, https://perpustakaan.bappenas.go.id, diakses tanggal 23 Agustus 2024, pukul 19.40 WIB

[2] Andrean W. Finaka, 4 Pilar Indonesia 2045, https://indonesiabaik.id, diakses tanggal 23 Agustus 2024, pukul 19.51 WIB.



22 September 2024

Rendah Hati, Jangan Rendah Diri!

 

Sumber gambar:https://www.sekolahathirah.sch.id

Acara malam perpisahan bertajuk Prom Night 2024 masih berlangsung seru. Lantunan lagu dan iringan musik pop dari grup band bintang tamu, masih terdengar merdu dan syahdu. Para peserta yang merupakan pelajar kelas XII di sebuah SMA swasta di kota Jepara itu larut dalam suasana haru. Maklum, malam itu adalah malam terakhir mereka berstatus sebagai pelajar ”putih abu-abu”. Mereka ingin menikmatinya sebagai kenangan terakhir sebelum masing-masing menjalani kehidupan yang baru.

Para peserta terlihat begitu gembira menikmati suasana. Mereka tertawa lepas dengan penuh bahagia. Namun, tidak dengan Hendra. Ia justru memilih menjauhkan diri dari tempat pesta. Sulung dari empat bersaudara, anak seorang buruh serabutan itu duduk menyendiri di sebuah kursi taman, tak jauh dari gedung tempat acara digelar. Melihat teman sebangkunya termenung seorang diri, Wijaya menghampiri Hendra.

”Kamu ngapain bengong sendirian di sini?” sapa Wijaya sambil menepuk pundak Hendra dan duduk di sebelahnya. ”Masuk, Yuk!” sambung Wijaya.

”Males ah. Aku pengen di sini aja. Kamu ngapain ikutan ke sini?” timpal Hendra.

”Jangan gitu lah Hen. Ini kan malam terakhir kita sebagai siswa. Mulai besok, kita udah gak bisa bareng-bareng lagi di kelas. Ayolah, kita nikmati pesta perpisahan malam ini.” Wijaya berusaha merayu Hendra agar mau kembali masuk ke ruang acara, bergabung dengan peserta lainnya.

”Iya, kalian pantas merayakan pesta malam ini. Setelah kalian lulus dari sini, masa depan kalian sudah pasti. Kamu nanti kuliah. Soni, Iwan, dan Rian juga. Rangga melanjutkan usaha ayahnya. Rahmat akan mondok ke Surabaya. Wira kabarnya juga sudah disiapkan modal oleh orang tuanya untuk membuka usaha rental PS. Sedangkan aku?” Hendra tiba-tiba menghentikan perkataannya. Matanya mulai berkaca-kaca. Pandangannya menerawang jauh ke depan. ”Kalian punya segalanya untuk sukses. Sedangkan aku hanya si miskin yang buruk rupa.” lanjut Hendra. Kini suaranya terdengar berbeda. Air dari sudut matanya mulai turun ke pipi.

Menyaksikan hal itu, Wijaya langsung merangkul Hendra. Dipeluknya erat-erat sahabatnya itu. Mendadak Wijaya ikut menetaskan air mata karena terbawa suasana. Ia mengerti apa yang sedang dirasakan oleh Hendra.

”Siapa di antara kita ini yang bisa menjamin dirinya kelak menjadi orang sukses? Siapa yang bisa memastikan bahwa apa yang dicita-citakan pasti akan tercapai? Apakah karena kamu ditakdirkan sebagai anak seorang buruh lalu kamu tidak akan punya kesempatan untuk sukses dan menjadi orang besar? Apakah karena saat ini keluargaku diberikan materi yang cukup, ayahku seorang pengusaha, lantas otomatis aku nanti bakal bisa jadi orang kaya? Ayolah, Hen. Hendra yang kukenal tak serapuh ini. Hendra yang selama ini aku kenal adalah pria tangguh yang tak kenal putus asa.”

Mendengar perkataan Wijaya, Hendra hanya mematung, diam seribu bahasa. Di antara kegalauan yang malam itu menghantui dirinya, ia bersyukur memiliki sahabat seperti Wijaya.

***



Tidak ada manusia yang terlahir sempurna. Ada manusia yang dikarunai kecerdasan luar biasa tetapi hidup di tengah keluarga yang sederhana. Ada manusia yang hidup bergelimang harta, tetapi bermasalah dengan kesehatannya. Ada manusia yang dianugerahi kesehatan prima, tetapi memiliki tingkat kecerdasan yang rendah. Di balik kelebihan yang kita miliki, ada kekurangan yang menyertai. Setiap manusia dilahirkan dengan keistimewaannya masing-masing.

Orang yang mempunyai keterbatasan fisik ataupun mental, tidak berarti masa depannya akan suram.  Nick Vujicic, motivator asal Australia adalah penyandang disabilitas fisik karena Tetra-amelia Syndrome yang membuat tangan dan kakinya tidak bisa tumbuh sempurna. Hidup tanpa tangan dan kaki sempurna, membuat Nick menjadi korban bullying saat masih sekolah. Meskipun demikian, ia tak pernah patah semangat untuk belajar dan menjalani hidup. Bahkan ia mampu menyelesaikan studinya hingga sarjana dan menjadi motivator di berbagai negara.

Siapa yang tak kenal Isaac Newton? Ia adalah penemu gaya gravitasi. Ilmuwan asal Inggris tersebut adalah seorang pengidap autisme. Isaac Newton memiliki gangguan mental sehingga kesulitan berinteraksi dengan orang lain. Keterbatasan yang ia miliki tidak menghalangi dirinya untuk terus belajar dan berkarya di bidang ilmu pengetahuan. Bahkan buah pemikirannya bisa kita nikmati hingga saat ini.

Di Indonesia, Angkie Yudistia adalah bukti bahwa keterbatasan dan kekurangan fisik seseorang tidak serta merta membuat ia terpuruk dan hanya bisa meratapi nasib. Penyandang tuna  rungu sejak usia 10 tahun tersebut pernah menjadi finalis pemilihan Abang None Jakarta pada tahun 2008. Bahkan, kini ia didaulat menjadi staf khusus Presiden Joko Widodo. Kehilangan pendengaran sejak usia belia membuat Angkie sempat terpukul dan insecure. Apalagi ia pernah mendapat perlakuan tak menyenangkan dari lingkungan sekitar. Namun, berkat dukungan dari keluarga dan orang-orang terdekatnya, akhirnya ia mampu bangkit dari keterpurukan.

Nick Vujicic, Isaac Newton, dan Angkie Yudistia adalah sedikit contoh dari sekian banyak orang-orang yang dikaruniai keterbatasan dan kekurangan oleh Tuhan. Namun, ketidaksempurnaan yang mereka miliki, tidak membuat mereka putus asa dan rendah diri. Mereka tetap bersyukur dan tak pernah ’menyalahkan’ Tuhan. Mereka justru mampu menginspirasi dan memotivasi orang lain untuk bangkit. Ketidaksempurnaan yang Tuhan berikan, tetap membuat mereka bisa menikmati hidup.

Allah Maha Besar dan Kuasa. Kekuasaan-Nya telah menciptakan manusia dengan keunikan dan keistimewaan masing-masing. Ada orang yang terlahir dari keluarga kurang mampu, tetapi ia berhasil menjadi orang sukses. Ada orang yang tidak memiliki kepandaian dalam bidang akademik tetapi ia berhasil menjadi pemimpin sebuah organisasi. Ada orang yang tidak mahir  public speaking  tetapi ia dikagumi banyak orang karena kebaikan tutur kata dan perilakunya. So, jangan pernah merasa rendah diri. Agar bisa meraih kesuksesan, jadikan kelebihan untuk menutupi kekurangan yang kita miliki. Ketika sukses, jangan lupa rendah hati!

30 Agustus 2024

PSSI Berburu Naturalisasi Demi Mengejar Prestasi

 

 

Masih segar dalam ingatan pecinta bola tentang istilah local pride yang sempat viral di media sosial. Tidak hanya viral, istilah yang diteriakkan Markus Horizon sesaat setelah tim nasional U-16 menjuarai Piala AFF tersebut juga menuai beragam reaksi. Banyak orang yang mendukung tetapi tak sedikit pula yang menghujat.

Banyak pihak menilai, sebagai staf pelatih dan mantan pemain tim nasional, Markus Horizon tak sepatutnya melontarkan kata-kata tersebut. Apalagi di depan kamera televisi saat tayangan siaran langsung. Ungkapan local pride dinilai merupakan sindiran kepada pelatih tim nasional senior berkebangsaan Korea Selatan, Shin Tae Yong. Pasalnya, sejak dikontrak PSSI pada Desember 2019, ia tak juga menorehkan gelar juara bagi tim garuda.

Di samping itu, tak sedikit yang mengomentari bahwa ungkapan local pride ditujukan kepada PSSI yang sedang gencar berburu “pemain asing” untuk dinaturalisasi. PSSI berdalih, untuk bisa berprestasi di kancah internasional, tim nasional membutuhkan talenta-talenta berbakat yang telah digembleng di akademi-akademi sepak bola luar negeri. Tidak cukup hanya mengandalkan produk-produk lokal sendiri.

Sementara para pemerhati sepak bola nasional khawatir, banjirnya pemain naturalisasi di tim nasional bisa menjadi ancaman bagi pemain pribumi. Lantas, bagaimana sebenarnya aturan naturalisasi dalam dunia sepak bola? Apa pengaruh naturalisasi terhadap perkembangan pemain Indonesia? Bagaimana agar naturalisasi dapat meningkatkan prestasi tim nasional Indonesia?

Aturan Naturalisasi Pemain Tim Nasional

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, naturalisasi adalah pemerolehan kewarganegaraan bagi penduduk asing yang telah memenuhi syarat sebagaimana yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.[1] Secara konstitusi, kewarganegaraan bisa diperoleh seseorang dengan dua cara yaitu azas ius soli (tempat lahir) dan ius sanguin (pertalian darah).[2] FIFA, sebagai induk organisasi sepak bola dunia juga mengeluarkan aturan terkait prosedur pengajuan naturalisasi pemain sepak bola.

Dilansir dari situs resmi FIFA, ada empat syarat yang harus dipenuhi jika seorang pemain ingin berganti asosiasi. Pertama, pemain lahir di negara yang bersangkutan. Kedua, ibu kandung atau ayah kandung lahir di negara yang bersangkutan. Ketiga, kakek kandung atau nenek kandung lahir di negara yang bersangkutan. Keempat, pemain telah tinggal di negara yang bersangkutan selama lima tahun saat usianya mencapai 18 tahun.[3] Setiap pemain yang bisa mendapatkan satu dari empat persyaratan tersebut dapat memperoleh kewarganegaraan baru dan bisa langsung membela tim nasional.

Ancaman Naturalisasi bagi Pemain Pribumi

Hingga tahun 2023, pemain yang telah dinaturalisasi menjadi warga negara Indonesia berjumlah 40 orang. Dari jumlah tersebut, sebagian besar berasal dari benua Eropa, utamanya Belanda. Dari benua Amerika, Afrika dan Asia juga ada, tetapi jumlahnya tidak menonjol.

Fakta yang menarik adalah tidak semua pemain yang dinaturalisasi tersebut atas prakarsa PSSI. Ada sebagian yang merupakan keinginan sendiri dan disponsori oleh klub yang dibelanya. Misinya adalah “mengakali” aturan kuota pemain asing di masing-masing klub yang berlaga di Liga Indonesia.

Banyaknya pemain asing yang ada di klub dan pemain naturalisasi yang membela tim nasional menjadi ancaman tersendiri bagi eksistensi pemain dalam negeri. Kesempatan mereka untuk mendapatkan menit bermain di klub jadi semakin kecil. Peluang untuk berlaga membela tim garuda juga menjadi semakin berat.

Salah satu bukti adalah dominasi pemain asing untuk urusan mencetak gol. Sejak musim 2013-2014 hingga musim 2022-2023 gelar pencetak gol terbanyak Liga Indonesia selalu direbut oleh pemain asing dan pemain naturalisasi. Bahkan tim nasional yang akan berlaga di Piala Asia tahun ini diprediksi akan dipenuhi dengan pemain naturalisasi. Jordi Amat, Sandy Walsh, Shayne Pattynama, Ivar Jener, dan Rafael Struick adalah nama-nama yang berpeluang besar tampil membela panji merah putih. Kemudian, menyusul Marc Klok dan Stefano Lilipaly yang lebih dulu keluar masuk tim nasional. 

Naturalisasi demi Mengejar Prestasi

Sebenarnya menaturalisasi pemain untuk memperkuat tim nasional bukan sesuatu yang haram. Banyak negara juga melakukannya. Bahkan tim nasional dari negara yang banyak dihuni pemain nonpribumi. Program naturalisasi pemain yang dilakukan PSSI hanya sebuah program jangka pendek. Terkesan mengejar prestasi instan.

Sedangkan untuk kepentingan jangka panjang, PSSI perlu merancang program yang sistematis dan berkelanjutan. Pembinaan intensif pemain muda tanah air melalui akademi sepak bola. Pendidikan dan pelatihan bagi pelatih-pelatih yang menangani pembinaan pemain usia dini. Penataan kompetisi yang sehat dan berkualitas juga wajib dijalankan.

Kehadiran pemain naturalisasi harus menjadi pemantik semangat pemain-pemain muda tanah air untuk giat berlatih dan terus mengasah kemampuan. Jadikan mereka panutan dalam hal profesionalisme dalam berkarier, menjaga pola hidup dan kebugaran, Termasuk attitude ­di dalam dan di luar lapangan.

Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa menaturalisasi pemain dari luar negeri sah-sah saja. Karena secara aturan, mereka mempunyai hak menjadi warga negara Indonesia dan membela panji-panji garuda melalui sepak bola. Akan tetapi, PSSI sebagai federasi yang menaungi persepakbolaan tanah air harus merumuskan kebijakan untuk melindungi dan menyelamatkan masa depan pemain-pemain pribumi.

Kehadiran pemain naturalisasi di liga Indonesia dan tim nasional harus dimanfaatkan untuk berguru dan menimba ilmu oleh para pemain muda Indonesia. Dengan demikian, program naturalisasi yang dicanangkan PSSI tidak hanya membuahkan prestasi jangka pendek tetapi juga prestasi jangka panjang.



[1] KBBI Daring, s,v, “kamus” diakses 12 Agustus 2023 pukul 20.15 WIB, https://kbbi.web.id/naturalisasi

[2] Hasanudin, “Naturalisasi, Antara Nasionalisme dan Kegagalan” https://www.kompasiana.com, diakses 12 Agustus 2023 pukul 20.25 WIB

[3] FIFA, “Commentary on the Rules Governing Eligibility to Play for Representative Teams halaman 29, https://digitalhub.fifa.com, diakses 12 Agustus 2023 pukul 20.47 WIB.


Sumber gambar: https://radarbojonegoro.jawapos.com

24 Agustus 2024

Merayakan Kemerdekaan, Menyelamatkan Peradaban

 



Sorak-sorak bergembira. Bergembira semua. Sudah bebas negeri kita. Indonesia merdeka. Itulah petikan lirik lagu berjudul “Sorak-Sorak Bergembira” yang diciptakan oleh Cornel Simanjuntak. Lagu patriotik yang menggambarkan kegembiraan, sukacita, dan euforia rakyat Indonesia dalam menyambut hari kemerdekaan negaranya.

Kegembiraan dalam menyambut hari kemerdekaan Indonesia biasanya ditampilkan dengan beragam cara. Bendera Merah Putih dikibarkan di depan rumah. Masyarakat menghias jalan-jalan kampung dengan pernak-pernik beraneka warna. Perlombaan olahraga, seni dan permainan tradisional diadakan untuk berbagai tingkatan usia. Termasuk menggelar kegiatan yang melibatkan massa dalam jumlah yang lebih besar seperti jalan sehat, sepeda santai ataupun karnaval.

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kemerdekaan menjadi anugerah yang tak ternilai harganya. Karena bangsa yang merdeka dapat menentukan jalan hidupnya sendiri. Tanpa dikekang atau diatur bangsa lain. Sebagai rakyat, kita pun dapat melakukan banyak hal dengan leluasa. Tak perlu takut ada bom jatuh ataupun diserang penjajah dengan tiba-tiba.

Kemerdekaan adalah nikmat Tuhan yang wajib kita syukuri. Wajar jika hampir seluruh masyarakat di berbagai pelosok nusantara menyambutnya dengan gegap gempita. Hanya saja, cara dalam mensyukuri nikmat itu sering kali melenceng dari nilai-nilai perjuangan maupun kebangsaan. Bahkan tak jarang bertentangan dengan norma agama dan susila.

Lunturnya Warisan Sejarah Perjuangan Bangsa

Peringatan hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia harusnya menjadi momentum untuk mengenalkan sejarah perjuangan Indonesia kepada generasi muda. Usia kemerdekaan negara kita semakin bertambah. Sedangkan para pelaku dan saksi sejarah lahirnya Republik Indonesia semakin berkurang. Warisan sejarah bangsa ini harus diturunkan kepada anak cucu kita agar mereka mengenal asal-usul tanah airnya

Kekhawatiran akan lunturnya warisan perjuangan bangsa sebenarnya mulai menggejala. Contoh sederhana, anak-anak Indonesia sekarang banyak yang tidak hafal lagu-lagu wajib nasional. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang belum pernah mendengarnya sama sekali. Lagu-lagu yang dulu secara rutin diajarkan dan dinyanyikan dengan lantang di ruang-ruang kelas, sekarang mulai jarang terdengar. Padahal tokoh-tokoh bangsa menciptakan lagu-lagu nasional tersebut mempunyai tujuan yang mulia. Mereka ingin menceritakan perjalanan dan perjuangan bangsa ini kepada anak cucunya. Harapannya, rasa nasionalisme dan patriotisme tertanam di sanubari para penerusnya. Sayang, pemuda dan pemudi sekarang lebih mahir menyanyikan lagu-lagu ambyar daripada lagu-lagu perjuangan seperti “Maju Tak Gentar”.

Para pahlawan kemerdekaan Indonesia kini mulai terlupakan. Mereka “dikalahkan” oleh bintang-bintang layar kaca yang memang memiliki rupa yang mempesona. Poster yang dipajang adalah Chae Soo Bin dan Seo Yea Ji, bukan lagi Cut Nya Dien atau R.A. Kartini. Para remaja lebih mengidolai Lee Min Ho dan Shah Rukh Khan daripada Pangeran Diponegoro atau Jenderal Sudirman.

Film-film dokumenter tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak lagi menjadi tayangan wajib saat peringatan hari besar nasional. Stasiun televisi lebih suka memutar sinetron atau reality show yang memiliki rating tinggi. Berbagai media justru mempertontonkan  perdebatan tak berujung tentang kesesuaian antara materi film dengan fakta sejarah. Mana yang benar? Sulit disimpulkan karena sering kali orang-orang pintar di negeri ini berbicara sesuai kepentingan. Bukan berdasarkan fakta kebenaran.

Pergeseran Tradisi Perayaan Kemerdekaan Indonesia

Waktu terus berputar, generasi terus berganti, dan zaman terus berubah. Cara masyarakat merayakan kemerdekaan negaranya pun semakin berbeda. Kemajuan zaman, perkembangan teknologi, dan informasi memang sebuah keniscayaan yang tidak bisa kita hindari. Namun berpegang teguh pada nilai-nilai luhur budaya negeri sendiri seharusnya menjadi prinsip yang kita miliki.

Saat ini lebih sering kita dengar arak-arakan karnaval diiringi lagu-lagu hits daripada lagu-lagu perjuangan masa lalu. Meskipun bertajuk “Karnaval Budaya, tetapi yang ditampilkan justru tidak mencerminkan budaya Indonesia. Sebagian peserta lebih suka berpakaian seksi dan menggoda daripada mengenakan pakaian adat nusantara. Mereka tidak memperagakan tarian tradisional yang gemulai, tetapi asyik berjoget pargoy yang aduhai.

Semakin jarang kita jumpai peserta karnaval yang berdandan ala pejuang, berseragam polisi, dokter, petani, guru atau profesi-profesi mulia lainnya. Mereka justru merendahkan martabat sendiri dengan berpenampilan yang tidak pantas. Laki-laki berdandan seronok ala wanita sementara wanita bertelanjang dada dan memamerkan paha. Ada pula yang berdandan ala hantu dengan beraneka rupa. Entah pesan apa yang mau disampaikan kepada anak-anak mereka.

Kebebasan berekspresi seringkali dimaknai dengan berkreasi tanpa batas. Karenanya membuat mereka lupa akan batasan dan pesan yang harus disampaikan. Berbagai perlombaan yang diselenggarakan seharusnya mengangkat nilai-nilai semangat perjuangan, gotong royong, kerukunan, patriotisme dan budaya luhur bangsa Indonesia. Sekarang banyak lomba yang dimodifikasi dengan tujuan agar menarik, lucu, dan seru. Namun tak jarang justru melenceng jauh dari norma-norma yang berlaku. Seperti memamerkan sensualitas, menampilkan adegan tak senonoh ataupun lomba-lomba yang bertentangan dengan tuntunan agama.

Sejak kecil, anak-anak kita ajari adab saat makan dan minum. Mereka harus melakukannya sambil duduk, tidak boleh buru-buru, tidak boleh diambil langsung dengan mulut, dan menggunakan tangan kanan. Namun saat perayaan hari kemerdekaan, kita mengadakan lomba adu cepat makan kerupuk, sambil berdiri, dan tidak boleh dipegang dengan tangan. Bukankah hal itu sama saja mengkhianati ajaran kita sendiri?

Hakikat Perayaan Kemerdekaan Indonesia

            Apa pun bentuk peringatan kemerdekaan Indonesia harusnya diselenggarakan dengan tujuan memperkuat nilai-nilai luhur budaya dan cita-cita bangsa. Bagaimana memperkokoh persatuan dan kesatuan di tengah kebhinekaan? Bagaimana meneladani semangat juang dan sikap kesatria para pahlawan? Bagaimana kita memperlakukan simbol-simbol negara dengan benar? Bagaimana kita menjaga dan mengisi kemerdekaan di tengah kemajuan zaman?

Perlombaan dan kegiatan lain yang dilaksanakan tidak boleh meninggalkan misi edukasi. Bukankah pemerintah sedang gencar-gencarnya mengkampanyekan pendidikan karakter dan profil pelajar Pancasila? Seharusnya seluruh elemen masyarakat harus terlibat dalam program tersebut. Penguatan profil pelajar Pancasila dan pendidikan karakter generasi bangsa menjadi tanggung jawab bersama. Bukan hanya diserahkan kepada guru dan sekolah saja.

Panitia bisa menggelar lomba cerdas cermat kebangsaan bagi anak-anak atau remaja. Secara tidak langsung mereka akan termotivasi untuk mempelajari dan mengenal lebih jauh tentang wawasan nusantara. Fashion Show yang menampilkan pakaian adat dan budaya nusantara juga bisa diselenggarakan. Dalam kegiatan tersebut kita bisa menyampaikan pesan bahwa keberagaman merupakan sebuah kekayaan yang patut dibanggakan, bukan perbedaan yang menjadi biang perpecahan.

Kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan juga perlu melibatkan para generasi muda. Seperti, gotong royong membersihkan lingkungan kampung, penanaman pohon untuk penghijauan, ataupun aksi solidaritas bagi warga yang membutuhkan. Kegiatan-kegiatan tersebut yang selama ini didominasi oleh para orang tua, sekarang harus memberikan peran yang lebih bagi anak-anak dan remaja. Jika pemuda dan pemudi kita sibukkan dengan kegiatan positif maka diharapkan dapat mengurangi kecenderungan untuk melakukan hal-hal yang negatif.

    Anak-anak harus menjadi generasi Indonesia yang benar-benar berkepribadian Indonesia. Mereka harus memahami dan menjiwai jati diri bangsanya, dan mengamalkan ajaran agamanya. Jangan sampai menjadi anak-anak modernisasi zaman dan korban dari peradaban.

Sah-sah saja kita merayakan kemerdekaan. Jika hal itu adalah bagian dari rasa syukur kita maka rayakanlah dengan tanggung jawab dan beradab. Ajak saudara-saudara kita merayakan kemerdekaan dengan tetap menjunjung tinggi nilai, norma dan budaya luhur ibu pertiwi. Mari kita merayakan kemerdekaan dengan membangun negeri, bukan menghancurkannya dengan kolusi dan korupsi. Merdeka!

***

Sumber gambar: koranbernas.id

31 Mei 2024

Ekspansi Perusahaan Asing di Jepara, Menggiurkan dan Meresahkan

 


Foto: Homecare24
 

Berada di wilayah paling utara di Provinsi Jawa Tengah, Kabupaten Jepara menjadi primadona di mata para investor asing. Setidaknya dalam lima tahun terakhir. Bahkan nilai penanaman modal asing di Kabupaten Jepara selama tahun 2022 mencapai angka Rp9.400.000.000.000,00. Capaian ini merupakan yang tertinggi di Provinsi Jawa Tengah.[1]

Sebenarnya Jepara tidak asing dengan para investor dari luar negeri. Sejak awal era 90-an, investor-investor asing sudah banyak berdatangan ke Jepara. Sebagai kota yang terkenal dengan industri mebel dan potensi alamnya, menjadikan Jepara sangat menarik untuk dijadikan ladang bisnis mereka. Akan tetapi pada akhir 90-an, di saat Indonesia sedang dilanda krisis ekonomi dan tuntutan reformasi pemerintahan, banyak investor asing yang hengkang dari Jepara.

Saat ini para investor asing yang masuk ke Jepara lebih banyak berasal dari Korea. Tidak seperti era 90-an, saat itu kebanyakan investor asing datang dari negara-negara Eropa seperti Belanda, Jerman dan Italia. Sektor bisnis yang diminati pun tidak lagi mebel dan pariwisata melainkan industri garmen. Hingga akhir tahun 2022 setidaknya ada delapan perusahaan besar milik investor Korea yang beroperasi di Jepara. Tiga yang terbesar adalah PT. Hwaseung Indonesia, PT. Kanindo Makmur Jaya dan PT. Jiale Indonesia Textile.

Perekonomian bangkit, kesejahteraan meningkat.

Menjamurnya pabrik-pabrik milik asing menjadi berkah tersendiri bagi masyarakat Jepara. Ribuan tenaga kerja lokal Jepara dan dari luar daerah dapat terserap. Hal ini tidak hanya berdampak pada berkurangnya jumlah pengangguran tetapi juga naiknya daya beli masyarakat. 

Usaha mikro, kecil dan menengah mulai menggeliat. Masyarakat di sekitar pabrik ramai membuka jasa laundry. Bisnis rumah indekos juga bermunculan. Usaha kuliner maju pesat. Mulai dari rumah makan, pedagang kaki lima hingga coffee shop ikut kebagian berkahnya. Belum lagi konter pulsa, jasa layanan pembayaran online ataupun toko-toko retail.

Perekonomian bangkit, tingkat kesejahteraan masyarakat pun meningkat. Setidaknya bisa dilihat dari banyaknya sepeda motor baru yang hilir mudik di jalanan. Kini hampir tidak ada lagi keluarga yang tidak memiliki sepeda motor. Bahkan dalam satu rumah mempunyai lebih dari satu sepeda motor, merupakan hal yang biasa. Jalan-jalan kampung diperlebar dan diperhalus dengan lapisan beton ataupun aspal.

Dampak sosial yang meresahkan

Ekspansi perusahaan asing di Jepara, tidak hanya membawa dana investasi dari pemodal asing. Tetapi juga mengikutsertakan “rombongan” tenaga asing. Umumnya, mereka adalah para staf ahli dan orang-orang kepercayaan investor yang memang dikirim untuk memastikan bisnisnya berjalan sesuai target yang diinginkan.

Orang asing yang berasal dari luar daerah maupun luar negeri membawa kebiasaan, perilaku, dan budaya yang ada di daerah asalnya. Tidak semua yang mereka bawa itu baik dan sesuai dengan norma masyarakat setempat. Sehingga kalau yang ia bawa adalah virus “penyakit” maka dikhawatirkan generasi muda Jepara akan terjangkit juga.

Capek seharian bekerja, jauh dari keluarga, jenuh berdiam diri di rumah indekos. Apalagi yang bisa dilakukan selain keluar mencari hiburan? Nongkrong lesehan di trotoar jalanan kota, menikmati seduhan kopi ala barista kaki lima. Bercengkerama diiringi gelak tawa bersama kolega menjadi hiburan yang paling sederhana.

Bagi yang berani merogoh koceknya lebih dalam, private room menjadi arena pilihan mereka. Berdendang dengan suka ria ditemani pemandu karaoke yang sudah mereka sewa. Menghabiskan malam, seakan lupa bahwa esok hari mereka harus kembali bekerja.

 Sebagian yang lain akan mengunjungi kafe-kafe instagramable. Menonton live music, mencicipi menu-menu dengan nama unik atau sekadar mencari angle untuk berfoto selfie.  Awalnya mereka yang harus menyesuaikan diri dengan menu kafe yang disediakan. Tetapi lama-lama, pihak pengelola kafe yang “dipaksa” menuruti selera dan permintaan pelanggannya. Sehingga minuman-minuman terlarang kini mudah didapatkan. Bahkan di kedai-kedai kopi kelas teri.

Banyaknya rumah indekos “tak bertuan” juga menimbulkan banyak persoalan. Laki-laki, perempuan berpasang-pasangan tanpa status yang jelas. Tinggal dalam satu kamar secara bebas tanpa batas. Parahnya, tak sedikit dari mereka mempunyai pasangan yang sah. Akibatnya, perselingkuhan itu akan memicu pertengkaran dalam rumah tangga hingga tak jarang berujung perceraian.

Deretan masalah sosial tak hanya berhenti sampai di situ. Pergeseran nilai di masyarakat tentang norma keluarga juga harus menjadi perhatian. Dari sekian perusahaan asing yang beroperasi di Jepara, hampir seluruhnya memprioritaskan tenaga kerja perempuan daripada laki-laki. Akibatnya, sekarang banyak dijumpai para istri  sibuk bekerja di pabrik sedangkan sang suami di rumah mengurus anak. Jika suami juga bekerja maka anak “dititipkan” kepada orang tua atau mertua.

Fenomena “istri bekerja, suami mengurus anak” kini mulai lazim di Jepara. Hal ini berpotensi menimbulkan dua masalah. Pertama, karena penghasilan istri lebih besar daripada suami maka bisa memicu pertengkaran dalam rumah tangga. Suami minta dihormati sebagai kepala keluarga tetapi istri berani menolak karena merasa sebagai “pahlawan” keuangan rumah tangga. Apalagi jika satu-satunya sumber keuangan keluarga adalah penghasilan dari sang istri.

Kedua, anak yang kekurangan atau bahkan kehilangan perhatian orang tua, terutama ibunya maka akan berpengaruh terhadap tumbuh kembang si anak. Kedekatan emosionalnya dengan orang tua akan berkurang. “Jaminan” asupan gizi yang harus ia konsumsi sehari-hari juga mungkin tidak ia dapatkan.  Termasuk pendidikan dasar bagi si anak juga akan terabaikan. Padahal keluarga adalah sekolah pertama bagi anak-anak. Dan ibu adalah guru pertama bagi mereka.

Jepara juga terancam kehilangan identitasnya. Kerajinan tenun ikat dan seni ukir adalah dua ikon Jepara yang sudah mendunia. Dengan gaji menggiurkan yang ditawarkan perusahaan garmen, para generasi muda lebih memilih bekerja di pabrik daripada menjadi tukang ukir ataupun tenun. Tak hanya faktor nominal gaji, Bekerja di pabrik bagi sebagian orang menjadi prerstise tersendiri. Para pengusaha tenun dan mebel kini kesulitan mencari karyawan.

Lantas, siapa yang harus disalahkan?

  Tidak penting mencari siapa yang bersalah. Karena ini menjadi masalah kita bersama. Penyelesainnya pun menjadi tanggung jawab bersama. Masing-masing pihak harus mengambil peran agar penyakit masyarakat ini tidak semakin menjalar luas.

Pertama, keluarga. Orang tua harus mampu menjadi “arsitek” untuk membangun pondasi benteng pertahanan yang kuat bagi sang anak agar kebal terhadap godaan-godaan perilaku yang menyimpang. Dasar-dasar keimanan dan pengamalan ajaran agama harus menjadi perhatian utama orang tua terhadap anaknya. Anak jangan sampai lepas kontrol dan terjerumus ke dalam budaya yang menyesatkan.

Kedua, pelaku usaha. Pemilik rumah indekos, pengusaha kafe dan pelaku usaha lainnya juga harus peduli. Jangan sampai demi mengejar omset dan keuntungan bisnisnya, mereka abai terhadap “kesehatan sosial” di lingkungannya. Pengelola rumah indekos harus berani menegur penyewa yang melanggar aturan dan norma yang berlaku.

Ketiga, masyarakat. Masyarakat harus berperan aktif sebagai kontrol sosial. Jangan sampai ada prinsip “Itu urusanmu, ini urusanku. Lakukan sesukamu asal jangan mengganggu urusanku” Sikap tak acuh semacam itu harus dibuang jauh. Jika menyangkut lingkungan maka “perilakumu menjadi urusan kami” Para pendatang berani berperilaku menyimpang biasanya karena mereka nyaman dengan lingkungannya. Kalau sudah begitu, siapa yang harus bertanggung jawab?

Keempat, pemerintah daerah. Selaku policy maker, pemerintah daerah harus mengambil langkah-langkah strategis untuk “menyelamatkan” eksistensi tenun dan ukir Jepara. Jangan sampai ikon kabupaten ini punah karena ditinggalkan masyarakatnya sendiri. Keterampilan tenun dan ukir perlu dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah.  

Para pelajar harus dikenalkan dan diajak untuk mencintai, membanggakan dan melestarikan warisan seni dan keterampilan unggulan Jepara. Pemerintah juga perlu mengajak seluruh elemen yang terliibat dalam industri kerajinan tenun dan ukir untuk duduk bersama. Merumuskan kembali besaran gaji yang layak diterima karyawan dan mampu diberikan perusahaan.

    Ekspansi perusahaan asing memang menggiurkan. “Iming-iming” peningkatan kesejahteraan bak hembusan angin surga. Tetapi, jangan sampai karena kita terlalu lama tidak sejahtera, lantas euforia kesejahteraan itu kita luapkan dengan membabi buta.



[Tulisan dimuat dalam buku GOOD LIFE, GOOD INSPIRATION]






[1] Muhammad Khoirul Anwar, “Nilai Investasi di Kabupaten Jepara Tembus 9,5 Triliun, Tertinggi di Jateng”, https://radarkudus.jawapos.com (diakses pada 29 Mei 2023, pukul 23.50 WIB)