Dilahirkan di tengah-tengah keluarga yang mayoritas berprofesi sebagai guru, membuat aku sadar bahwa kelak masa depanku tidak akan jauh dari dunia pendidikan. Apalagi kakekku adalah salah satu pendiri sebuah yayasan di desa tempat aku dilahirkan. Tetapi sebenarnya bukan itu cita-citaku. Aku ingin menjadi wartawan atau paling tidak pegawai kantoran. Itu yang terbersit dalam pikiranku saat masih duduk di bangku SMP.
Aku
yang saat itu mulai suka menulis, meskipun sekadar berbagi cerita di buku
harian, membayangkan kalau menjadi wartawan adalah pekerjaan yang mengasyikkan.
Apalagi sehari-hari aku disuguhi berbagai jenis majalah dan koran langganan
pamanku. Pamanku yang seorang guru, masih tinggal bersama kakek dan rumahnya
bersebelahan dengan rumah orang tuaku. Sehingga dengan sangat leluasa aku bisa
membaca majalah dan koran koleksi pamanku kapan saja.
Alih-alih
mendapat dukungan dari orang tuaku, mereka berdua justru tidak setuju dengan
pilihan cita-citaku. Memang sebagai orang yang hidup di kampung, profesi
wartawan tentu masih asing dan tidak populer. Orang tuaku berharap aku bisa
meneruskan perjuangan kakek dan para pamanku mengabdi di lembaga pendidikan.
***
Menjelang
lulus SMA, aku mendaftar kuliah di beberapa perguruan tinggi negeri favorit melalui
jalur beasiswa. Berbagai program studi aku tulis sebagai pilihan. Tentu saja
yang paling berpeluang lolos. Tanpa memikirkan kelak akan berprofesi sebagai
apa.
Dari
sekian program studi yang aku pilih, akhirnya aku diterima di program studi
Pendidikan Bahasa Indonesia di Universitas Negeri Semarang. Merasa
bayang-bayang menjadi seorang guru semakin jelas, akhirnya kesempatan itu tidak
jadi aku ambil. Apalagi pilihan pertamaku bukan program studi Pendidikan Bahasa
Indonesia melainkan Bahasa dan Sastra Inggris. Orang tuaku marah. Sudah pasti
mereka sangat kecewa.
Lalu,
aku menjatuhkan pilihan pada perguruan tinggi yang lain. Kali ini sebuah kampus
swasta elit yang ada di kota Semarang, STIE Dian Nuswantoro (sekarang menjadi
Universitas Dian Nuswantoro). Tidak ada pertimbangan khusus sebetulnya.
Satu-satunya alasan memilih Semarang adalah agar tetap bisa bersama dengan
sahabat kecilku di kampung yang juga memutuskan kuliah di Semarang.
Selang
dua minggu setelah pelaksanaan ujian masuk, hasilnya diumumkan. Aku berhasil
lolos. Bahagia? sudah pasti. Tetapi tidak dengan orang tuaku. Terutama bapakku.
Mereka justru menyalahkan aku karena tidak izin dan meminta pertimbangan
sebelumnya. Sebagai kampus yang mencitrakan dirinya “Tempat Kuliah Orang
Berdasi”, tentu biaya kuliah di sana sangat mahal. Apalagi untuk ukuran orang
tuaku yang hanya buruh di perusahaan tenun milik tetanggaku. Dengan nada
sedikit keras, bapak bilang “Yen awakmu mekso kuliah ning kono, yo lakonono.
Nanging biayane tanggung dewe (Kalau kamu memaksa kuliah di situ, silahkan.
Tapi biayanya tanggung sendiri).”
Setelah
berbagai rayuan dan upaya negosiasi tidak berhasil, aku mulai pasrah dan
meminta solusi dari bapak. Dengan tegas dan mantab, bapak memberikan pilihan:
UMK (Universitas Muria Kudus). Aku tahu itu bukan penawaran tetapi perintah
yang harus dituruti. Giliran aku yang kecewa. Menurutku, UMK saat itu adalah
kampus swasta di pinggiran kota yang sama sekali tidak bergengsi.
Saat
pikiranku masih tak menentu, bapak seperti tahu apa yang sedang ada di benakku.
Kemudian beliau memberikan wejangan pamungkas, “Gengsi ora bakal
ndadekke awakmu sukses. Sing ono, awakmu bakal ciloko (Gengsi tidak akan
membuatmu sukses. Justru kamu akan celaka bersamanya).” Bismillah, aku menuruti
permintaan bapak. Mengambil jurusan Manajemen di Fakultas Ekonomi.
***
Tahun
pertama menjalani kuliah, terasa menyiksa fisik dan psikis. Bagaimana tidak, lima
hari dalam seminggu harus berangkat ke kampus yang berjarak 25 kilometer dari
rumah dengan naik angkutan umum. Meski belum bisa membelikan aku sepeda motor
tetapi orang tua melarangku tinggal di indekos karena tenagaku sangat
dibutuhkan di rumah. Membantu pekerjaan kakakku dan mendampingi belajar adikku
yang masih di kelas 6 SD.
Bukan
hanya soal transportasi. Iklim di kampus juga membuatku sempat frustasi.
Sebagai mantan ketua OSIS saat masih berseragam putih abu-abu, aku butuh
sesuatu yang menantang karena itu yang akan membuatku bisa berkembang. Aku memerlukan
lingkungan yang kompetitif yang memacu semangatku untuk aktif.
Tetapi
setiap kali aku ingin memutuskan berhenti atau pindah kampus, bayangan bapak
dan ibu selalu muncul di benakku. Ada pengorbanan mereka yang ingin aku
‘bayar’. Ada harapan dan impian yang harus aku wujudkan. Aku tidak ingin
mengecewakan orang tua untuk kedua kalinya. Apalagi aku anak satu-satunya yang
bisa merasakan bangku kuliah karena dua kakakku hanya lulusan SMA.
***
Bagaimanapun
aku tidak boleh menyerah. Kesempatan yang telah Allah berikan kepadaku tidak
boleh aku sia-siakan. Aku tidak ingin pasrah dan terlena dengan keadaan. Kenyamanan
dan kebahagiaan yang aku inginkan harus aku ciptakan sendiri. Bukan menunggu
diberikan orang lain.
Aku
yang cenderung introvert dan low profile sedikit kesulitan untuk
bersosialisasi. Meski sadar punya kapasitas tetapi aku enggan untuk
memperlihatkannya ke orang lain. Sampai pada akhirnya ‘panggung’ itu tiba. Saat
ada perekrutan pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) tingkat fakultas, aku
terpilih.
Menjadi
pengurus BEM membuatku jadi punya kegiatan lain selain kuliah di ruang kelas
atau membaca buku di perpustakaan. Semakin banyak teman yang aku kenal.
Kejenuhanku berangsur-angsur hilang. Tetapi masalah baru muncul. Aku butuh
sepeda motor. Aktivitasku di BEM ternyata memerlukan itu.
Aku
mengutarakan keinginanku kepada bapak untuk dibelikan sepeda motor. Tetapi
karena belum mempunyai cukup uang, bapak belum bisa mengabulkan permintaanku.
Tidak ingin terlalu memaksa dan membebani orang tua, aku mencoba menawarkan
opsi lain yaitu meminta izin untuk indekos. Meski dengan berat hati, akhirnya
bapak memperbolehkan.
Tinggal
satu indekos bersama lima teman yang semuanya sudah punya pacar akhirnya
memunculkan keinginanku untuk mencari ‘pasangan’. Dengan bermodalkan jabatan
sebagai pengurus BEM, aku mulai menebar pesona. Beberapa kali mencoba tetapi
tak satu pun hati yang berhasil dipikat.
***
Di
tahun ketiga, satu persatu Allah mulai menunjukkan karunia-Nya kepadaku.
Melalui pemilihan umum, aku terpilih menjadi Presiden BEM Fakultas. Menjadi mahasiswa
nomor satu di kampus, popularitasku mulai menanjak. Tidak hanya di kalangan
mahasiswa tetapi juga dosen dan pimpinan fakultas.
Kesempatan
untuk mendapatkan beasiswa mulai berdatangan. Satu yang berhasil aku peroleh
tetapi yang paling besar dan bergengsi justru jatuh ke tangan adik tingkatku
yang juga kolegaku di BEM. Ditugasi pimpinan fakultas untuk menyampaikan
informasi kepadaku, tidak ia lakukan tetapi justru beasiswa itu ia ambil
sendiri. Maklum, sebagai mahasiswa dari keluarga ‘biasa’ saat itu memang aku
belum memiliki ponsel. Sehingga sering ketinggalan informasi dari kampus.
Jabatan
sebagai presiden mahasiswa juga tidak sepenuhnya ‘nikmat’. Goncangan dan
gangguan dari para ‘rival politik’ datang silih berganti. Tuduhan telah
mematikan demokrasi kampus melalui selebaran gelap, diprotes sekelompok
mahasiswa kelas ekstensi karena dianggap tidak aspiratif adalah sebagian contoh.
Meskipun pada akhirnya dalang di balik semua itu terbongkar. Di sisi lain,
status jomblo masih melekat pada diriku. Bukannya tidak ada lawan jenis
yang menarik atau tertarik. Beberapa yang medekat justru akhirnya menjadi milik
sahabat.
***
Tahun
keempat, tiba saatnya segera mengakhiri kiprah di kampus. Meski awalnya masuk
dengan setengah hati tetapi aku ingin mengakhirinya dengan husnul khotimah.
Dimulai dengan skripsi yang berhasil memperoleh nilai A. Penelitianku yang
berjudul “Pengulangan Pesan Suatu Iklan dalam Proses Pembelajaran Konsumen”
mendapat pujian dari para penguji karena dinilai out of the box.
Perasaan
bangga dan bahagia pun makin bertambah ketika aku dihubungi salah satu dosen
yang memintaku untuk memberikan sambutan saat acara wisuda digelar. Aku
mendapatkan kehormatan itu karena ternyata aku menjadi wisudawan terbaik di Fakultas
Ekonomi.
Tugas
itu pun berhasil aku emban dengan baik. Berbicara di depan tamu-tamu
kehormatan, tanpa menggunakan teks dan saat turun mimbar diberi ucapan selamat
oleh salah satu dosen favorit adalah kebanggaan yang luar biasa. “Selamat mas,
selama ini belum pernah ada mahasiswa yang memberikan sambutan sebaik yang baru
saja Anda lakukan.” Kalimat singkat itu tidak akan pernah aku lupakan,
Menjadi
Presiden BEM, lulusan terbaik dan memberikan sambutan di acara wisuda adalah
pencapaian yang mungkin tidak akan pernah terjadi jika saat itu aku tidak
menuruti nasihat orang tua. Bahkan jika aku tetap memaksa kuliah di Dian
Nuswantoro bukan tidak mungkin akan berhenti di tengah jalan karena tidak bisa
membayar biaya kuliah.
Aku
adalah orang yang sangat percaya akan kekuatan doa. Salah satu doa yang selalu
aku baca setiap selesai shalat adalah, “Ya Allah, berikanlah aku ilmu yang
bermanfaat dan bisa berprestasi di sekolah.” Doa singkat itu aku panjatkan
sejak aku duduk di kelas 1 SMP. Ternyata Allah menjawabnya 10 tahun kemudian.
Ketika
Allah berkehendak, maka yang mustahil akan menjadi mungkin. Aku juga tidak
menyangka, beberapa kali gagal mendapatkan tambatan hati saat masih kuliah ternyata
Allah menggantinya dengan wanita yang Dia pilihkan untukku beberapa bulan
menjelang wisuda. Wanita itu adalah teman sekelas saat SMA yang selama empat
tahun setelah lulus tidak pernah menjalin komunikasi. Wanita itulah yang
akhirnya menjadi ibu dari anak-anakku dan setia mendampingiku sampai saat ini.
Pada
akhirnya aku mengerti. Berulang kali merasakan patah hati bukan karena Allah
tidak sayang padaku. Tetapi justru sebaliknya. Ketika teman-teman indekosku
asyik bermesraan dengan pasangannya dan aku hanya bisa menikmati status jomblo,
ketika beberapa diantara mereka harus menikah dini karena telah mengandung
sang buah hati dan aku masih seorang diri, itulah sebenarnya bukti kasih sayang
Allah kepadaku.
Allah menjagaku dengan rencana-Nya. Dialah Dzat yang menjauhkan dan menghindarkan aku dari kemungkinan perbuatan zina. Allah Maha Tahu kapan waktu terbaik untuk mengabulkan doa-doaku. Karena yang terbaik menurut Allah sudah pasti yang terbaik untuk hamba-Nya. Tetapi yang terbaik menurut kita, belum tentu terbaik di hadapan Allah.