..

17 Juni 2023

Tuhan Menjagaku dengan Rencana-Nya



"Gengsi tidak akan membuatmu sukses. Justru kamu akan celaka bersamanya"
- Bapak -

Dilahirkan di tengah-tengah keluarga yang mayoritas berprofesi sebagai guru, membuat aku sadar bahwa kelak masa depanku tidak akan jauh dari dunia pendidikan. Apalagi kakekku adalah salah satu pendiri sebuah yayasan di desa tempat aku dilahirkan. Tetapi sebenarnya bukan itu cita-citaku. Aku ingin menjadi wartawan atau paling tidak pegawai kantoran. Itu yang terbersit dalam pikiranku saat masih duduk di bangku SMP.

Aku yang saat itu mulai suka menulis, meskipun sekadar berbagi cerita di buku harian, membayangkan kalau menjadi wartawan adalah pekerjaan yang mengasyikkan. Apalagi sehari-hari aku disuguhi berbagai jenis majalah dan koran langganan pamanku. Pamanku yang seorang guru, masih tinggal bersama kakek dan rumahnya bersebelahan dengan rumah orang tuaku. Sehingga dengan sangat leluasa aku bisa membaca majalah dan koran koleksi pamanku kapan saja.

Alih-alih mendapat dukungan dari orang tuaku, mereka berdua justru tidak setuju dengan pilihan cita-citaku. Memang sebagai orang yang hidup di kampung, profesi wartawan tentu masih asing dan tidak populer. Orang tuaku berharap aku bisa meneruskan perjuangan kakek dan para pamanku mengabdi di lembaga pendidikan.

***

Menjelang lulus SMA, aku mendaftar kuliah di beberapa perguruan tinggi negeri favorit melalui jalur beasiswa. Berbagai program studi aku tulis sebagai pilihan. Tentu saja yang paling berpeluang lolos. Tanpa memikirkan kelak akan berprofesi sebagai apa.

Dari sekian program studi yang aku pilih, akhirnya aku diterima di program studi Pendidikan Bahasa Indonesia di Universitas Negeri Semarang. Merasa bayang-bayang menjadi seorang guru semakin jelas, akhirnya kesempatan itu tidak jadi aku ambil. Apalagi pilihan pertamaku bukan program studi Pendidikan Bahasa Indonesia melainkan Bahasa dan Sastra Inggris. Orang tuaku marah. Sudah pasti mereka sangat kecewa.

Lalu, aku menjatuhkan pilihan pada perguruan tinggi yang lain. Kali ini sebuah kampus swasta elit yang ada di kota Semarang, STIE Dian Nuswantoro (sekarang menjadi Universitas Dian Nuswantoro). Tidak ada pertimbangan khusus sebetulnya. Satu-satunya alasan memilih Semarang adalah agar tetap bisa bersama dengan sahabat kecilku di kampung yang juga memutuskan kuliah di Semarang.

Selang dua minggu setelah pelaksanaan ujian masuk, hasilnya diumumkan. Aku berhasil lolos. Bahagia? sudah pasti. Tetapi tidak dengan orang tuaku. Terutama bapakku. Mereka justru menyalahkan aku karena tidak izin dan meminta pertimbangan sebelumnya. Sebagai kampus yang mencitrakan dirinya “Tempat Kuliah Orang Berdasi”, tentu biaya kuliah di sana sangat mahal. Apalagi untuk ukuran orang tuaku yang hanya buruh di perusahaan tenun milik tetanggaku. Dengan nada sedikit keras, bapak bilang “Yen awakmu mekso kuliah ning kono, yo lakonono. Nanging biayane tanggung dewe (Kalau kamu memaksa kuliah di situ, silahkan. Tapi biayanya tanggung sendiri).”

Setelah berbagai rayuan dan upaya negosiasi tidak berhasil, aku mulai pasrah dan meminta solusi dari bapak. Dengan tegas dan mantab, bapak memberikan pilihan: UMK (Universitas Muria Kudus). Aku tahu itu bukan penawaran tetapi perintah yang harus dituruti. Giliran aku yang kecewa. Menurutku, UMK saat itu adalah kampus swasta di pinggiran kota yang sama sekali tidak bergengsi.

Saat pikiranku masih tak menentu, bapak seperti tahu apa yang sedang ada di benakku. Kemudian beliau memberikan wejangan pamungkas, “Gengsi ora bakal ndadekke awakmu sukses. Sing ono, awakmu bakal ciloko (Gengsi tidak akan membuatmu sukses. Justru kamu akan celaka bersamanya).” Bismillah, aku menuruti permintaan bapak. Mengambil jurusan Manajemen di Fakultas Ekonomi.

***

Tahun pertama menjalani kuliah, terasa menyiksa fisik dan psikis. Bagaimana tidak, lima hari dalam seminggu harus berangkat ke kampus yang berjarak 25 kilometer dari rumah dengan naik angkutan umum. Meski belum bisa membelikan aku sepeda motor tetapi orang tua melarangku tinggal di indekos karena tenagaku sangat dibutuhkan di rumah. Membantu pekerjaan kakakku dan mendampingi belajar adikku yang masih di kelas 6 SD.

Bukan hanya soal transportasi. Iklim di kampus juga membuatku sempat frustasi. Sebagai mantan ketua OSIS saat masih berseragam putih abu-abu, aku butuh sesuatu yang menantang karena itu yang akan membuatku bisa berkembang. Aku memerlukan lingkungan yang kompetitif yang memacu semangatku untuk aktif.

Tetapi setiap kali aku ingin memutuskan berhenti atau pindah kampus, bayangan bapak dan ibu selalu muncul di benakku. Ada pengorbanan mereka yang ingin aku ‘bayar’. Ada harapan dan impian yang harus aku wujudkan. Aku tidak ingin mengecewakan orang tua untuk kedua kalinya. Apalagi aku anak satu-satunya yang bisa merasakan bangku kuliah karena dua kakakku hanya lulusan SMA.

***

Bagaimanapun aku tidak boleh menyerah. Kesempatan yang telah Allah berikan kepadaku tidak boleh aku sia-siakan. Aku tidak ingin pasrah dan terlena dengan keadaan. Kenyamanan dan kebahagiaan yang aku inginkan harus aku ciptakan sendiri. Bukan menunggu diberikan orang lain.

Aku yang cenderung introvert dan low profile sedikit kesulitan untuk bersosialisasi. Meski sadar punya kapasitas tetapi aku enggan untuk memperlihatkannya ke orang lain. Sampai pada akhirnya ‘panggung’ itu tiba. Saat ada perekrutan pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) tingkat fakultas, aku terpilih.

Menjadi pengurus BEM membuatku jadi punya kegiatan lain selain kuliah di ruang kelas atau membaca buku di perpustakaan. Semakin banyak teman yang aku kenal. Kejenuhanku berangsur-angsur hilang. Tetapi masalah baru muncul. Aku butuh sepeda motor. Aktivitasku di BEM ternyata memerlukan itu.

Aku mengutarakan keinginanku kepada bapak untuk dibelikan sepeda motor. Tetapi karena belum mempunyai cukup uang, bapak belum bisa mengabulkan permintaanku. Tidak ingin terlalu memaksa dan membebani orang tua, aku mencoba menawarkan opsi lain yaitu meminta izin untuk indekos. Meski dengan berat hati, akhirnya bapak memperbolehkan.

Tinggal satu indekos bersama lima teman yang semuanya sudah punya pacar akhirnya memunculkan keinginanku untuk mencari ‘pasangan’. Dengan bermodalkan jabatan sebagai pengurus BEM, aku mulai menebar pesona. Beberapa kali mencoba tetapi tak satu pun hati yang berhasil dipikat.

***

Di tahun ketiga, satu persatu Allah mulai menunjukkan karunia-Nya kepadaku. Melalui pemilihan umum, aku terpilih menjadi Presiden BEM Fakultas. Menjadi mahasiswa nomor satu di kampus, popularitasku mulai menanjak. Tidak hanya di kalangan mahasiswa tetapi juga dosen dan pimpinan fakultas.

Kesempatan untuk mendapatkan beasiswa mulai berdatangan. Satu yang berhasil aku peroleh tetapi yang paling besar dan bergengsi justru jatuh ke tangan adik tingkatku yang juga kolegaku di BEM. Ditugasi pimpinan fakultas untuk menyampaikan informasi kepadaku, tidak ia lakukan tetapi justru beasiswa itu ia ambil sendiri. Maklum, sebagai mahasiswa dari keluarga ‘biasa’ saat itu memang aku belum memiliki ponsel. Sehingga sering ketinggalan informasi dari kampus.

Jabatan sebagai presiden mahasiswa juga tidak sepenuhnya ‘nikmat’. Goncangan dan gangguan dari para ‘rival politik’ datang silih berganti. Tuduhan telah mematikan demokrasi kampus melalui selebaran gelap, diprotes sekelompok mahasiswa kelas ekstensi karena dianggap tidak aspiratif adalah sebagian contoh. Meskipun pada akhirnya dalang di balik semua itu terbongkar. Di sisi lain, status jomblo masih melekat pada diriku. Bukannya tidak ada lawan jenis yang menarik atau tertarik. Beberapa yang medekat justru akhirnya menjadi milik sahabat.

 ***

Tahun keempat, tiba saatnya segera mengakhiri kiprah di kampus. Meski awalnya masuk dengan setengah hati tetapi aku ingin mengakhirinya dengan husnul khotimah. Dimulai dengan skripsi yang berhasil memperoleh nilai A. Penelitianku yang berjudul “Pengulangan Pesan Suatu Iklan dalam Proses Pembelajaran Konsumen” mendapat pujian dari para penguji karena dinilai out of the box.

Perasaan bangga dan bahagia pun makin bertambah ketika aku dihubungi salah satu dosen yang memintaku untuk memberikan sambutan saat acara wisuda digelar. Aku mendapatkan kehormatan itu karena ternyata aku menjadi wisudawan terbaik di Fakultas Ekonomi.

Tugas itu pun berhasil aku emban dengan baik. Berbicara di depan tamu-tamu kehormatan, tanpa menggunakan teks dan saat turun mimbar diberi ucapan selamat oleh salah satu dosen favorit adalah kebanggaan yang luar biasa. “Selamat mas, selama ini belum pernah ada mahasiswa yang memberikan sambutan sebaik yang baru saja Anda lakukan.” Kalimat singkat itu tidak akan pernah aku lupakan,

Menjadi Presiden BEM, lulusan terbaik dan memberikan sambutan di acara wisuda adalah pencapaian yang mungkin tidak akan pernah terjadi jika saat itu aku tidak menuruti nasihat orang tua. Bahkan jika aku tetap memaksa kuliah di Dian Nuswantoro bukan tidak mungkin akan berhenti di tengah jalan karena tidak bisa membayar biaya kuliah.

Aku adalah orang yang sangat percaya akan kekuatan doa. Salah satu doa yang selalu aku baca setiap selesai shalat adalah, “Ya Allah, berikanlah aku ilmu yang bermanfaat dan bisa berprestasi di sekolah.” Doa singkat itu aku panjatkan sejak aku duduk di kelas 1 SMP. Ternyata Allah menjawabnya 10 tahun kemudian.

Ketika Allah berkehendak, maka yang mustahil akan menjadi mungkin. Aku juga tidak menyangka, beberapa kali gagal mendapatkan tambatan hati saat masih kuliah ternyata Allah menggantinya dengan wanita yang Dia pilihkan untukku beberapa bulan menjelang wisuda. Wanita itu adalah teman sekelas saat SMA yang selama empat tahun setelah lulus tidak pernah menjalin komunikasi. Wanita itulah yang akhirnya menjadi ibu dari anak-anakku dan setia mendampingiku sampai saat ini.

Pada akhirnya aku mengerti. Berulang kali merasakan patah hati bukan karena Allah tidak sayang padaku. Tetapi justru sebaliknya. Ketika teman-teman indekosku asyik bermesraan dengan pasangannya dan aku hanya bisa menikmati status jomblo, ketika beberapa diantara mereka harus menikah dini karena telah mengandung sang buah hati dan aku masih seorang diri, itulah sebenarnya bukti kasih sayang Allah kepadaku.

Allah menjagaku dengan rencana-Nya. Dialah Dzat yang menjauhkan dan menghindarkan aku dari kemungkinan perbuatan zina. Allah Maha Tahu kapan waktu terbaik untuk mengabulkan doa-doaku. Karena yang terbaik menurut Allah sudah pasti yang terbaik untuk hamba-Nya. Tetapi yang terbaik menurut kita, belum tentu terbaik di hadapan Allah.


0 comments:

Posting Komentar