..

03 Juli 2023

Kalau Ingin Kaya, Jangan Jadi Guru

 



 Yen awakmu kepengin sugih ojo dadi guru. Tapi dadi guru iso marai sugih" 

- Si Mbah -


Bulan Juni tahun 2004. Kuliahku memasuki semester delapan. Di tengah-tengah proses menyelesaikan skripsi, aku dibuat bimbang dengan tawaran untuk membantu di MI (Madrasah Ibtidaiyah, setara dengan Sekolah Dasar) sebagai guru dan staf tata usaha.

Aku sendiri sebenarnya tidak ingin berkarier di dunia pendidikan terutama menjadi guru. Meskipun orang tua ingin agar aku meneruskan perjuangan kakek. Ya, kakekku adalah salah satu pendiri dua yayasan pendidikan Islam. Satu di desaku sendiri dan satunya lagi di desa sebelah. Lima dari delapan anaknya juga telah mengabdikan diri di lembaga pendidikan. Sementara tiga yang lain memilih berbisnis, termasuk orang tuaku.

Suatu hari, dua guru utusan dari MI menemuiku. Tujuannya ingin meyakinkan aku agar mau bergabung. Awalnya aku menolak dan dibalas dengan counter attack mematikan, “Madrasah ini yang mendirikan dan memperjuangkan adalah kakekmu. Kalau kamu sebagai cucunya tidak mau meneruskan perjuangannya, lantas siapa lagi yang akan menghidupkan madrasah ini ?”

Sebuah pertanyaan yang membuatku hanya bisa diam. Diucapkan dengan halus tetapi rasanya seperti tamparan yang sangat keras. Seketika pendirianku goyah dan aku pun akhirnya mengatakan, “Iya, insya Allah.”

Aku tahu segala konsekuensi yang harus kuterima. Menjadi seorang guru tidak sekadar bagaimana mengajar di ruang kelas tetapi harus bisa memberi teladan yang baik kepada para murid di mana pun aku berada. Mereka belajar tidak hanya dari apa yang aku ucapkan tetapi juga dari apa yang aku lakukan.

Sebagai seorang pemuda tentu aku masih ingin menikmati masa mudaku. Tetapi dengan status seorang guru tentu semuanya menjadi tidak leluasa. Ada etika dan marwah profesi yang wajib aku jaga. Tanggung jawab moral itulah alasan sebenarnya mengapa dari dulu aku tidak mau menjadi seorang guru.

Jika kemudian aku menerima tawaran, karena madrasah itu adalah sekolah pertamaku, tempat aku mengenal angka dan bisa mengeja aksara. Begitu banyak ilmu yang aku dapatkan dari sana. Jadi ini saatnya untuk memberikan sesuatu kepada lembaga yang membesarkanku.

***

Setelah menyelesaikan kuliah pada April 2005 dan menyandang gelar Sarjana Ekonomi, pada Oktober 2006, aku memutuskan untuk mengakhiri masa lajangku. Menikah di usia dua puluh empat tahun, banyak yang menilai aku terlalu berani mengambil risiko. Usia masih tergolong muda, baru saja lulus kuliah dan penghasilan yang dinilai belum cukup sebagai modal mengarungi bahtera rumah tangga.

Sebagai guru yang belum genap dua tahun bertugas, honorku waktu itu tidak sampai menyentuh angka Rp800.000,00. Memang aku punya kerja sampingan, membantu kakakku mengelola usaha percetakan tetapi hasilnya tidak lebih banyak dari yang aku terima dari madrasah.

Dibesarkan di keluarga yang mayoritas berprofesi sebagai pendidik, cucu dari seorang kiai yang begitu ditokohkan di lingkungan desaku, juga menyandang status sebagai seorang guru, menjadikanku tak bisa berlama-lama menjalani masa pacaran. Apalagi orang tuaku pernah memberi nasihat bahwa menikah adalah ibadah.

Bahkan bapakku pernah berujar dengan kalimat yang sedikit lebih ekstrem, “Ojo nunggu duwe duit lagi kawin, nanging kawino mengko duite teko. (Jangan menunggu punya uang banyak baru menikah, tetapi menikahlah nanti uang akan datang.)”

Sejak menikah aku tinggal di rumah mertua. Bapak dan ibu mertuaku sudah tua renta, istriku yang merupakan anak bungsu dan satu-satunya yang tinggal serumah, membuat aku tidak punya pilihan lain. Di rumah itu aku jadi tulang punggung. Kebutuhan sehari-hari menjadi tanggung jawabku. Sementara honorku dari madrasah sudah habis untuk membayar angsuran pinjaman koperasi yayasan. Pinjaman itu aku ambil untuk biaya pernikahanku waktu itu. Bahkan aku masih harus menutup sekitar Rp200.000,00 setiap bulannya. Situasi makin sulit karena aku masih mempunyai cicilan kredit sepeda motor yang per bulannya mencapai Rp267.000,00.

Tepat setahun setelah menikah, anak pertamaku lahir. Inilah ujian dan tantangan berikutnya. Sebagai orangtua, aku harus mampu merawat dan mendidiknya dengan baik. Termasuk mempersiapkan dana tambahan untuk membiayai semua kebutuhannya. Padahal cash flow keuanganku setiap bulan hampir selalu defisit. Lagi-lagi, nasihat bapak yang membuatku tetap tenang dan optimis, anak itu ada rezekinya sendiri, dijamin oleh Allah.

***

Ternyata matematika Allah berbeda dengan matematika manusia. Suatu hari setelah subuh, istriku memberitahu kalau susu untuk si kecil habis. Sementara saat itu aku tidak memegang uang serupiah pun. “Iya, nanti siang pulang dari kantor sekalian aku belikan.” Jawabanku menenangkan istriku sambil berpikir dari mana aku dapat uangnya.

Allah Maha Pemurah dan Penyayang. Seketika itu Dia tunjukkan kepadaku. Menjelang berangkat ke kantor, ada seorang wanita yang datang ke rumah memesan sablon atribut sekolah. Setelah negosiasi sebentar akhirnya kami sepakat dengan harganya Rp70.000,00 yang harus ia bayar. Selembar uang pecahan Rp100.000,00 ia sodorkan, dan tentunya aku tidak punya uang kembalian. Karena kami berdua buru-buru untuk segera berangkat kerja, akhirnya ia bilang, “Ya udah kembaliannya besok aja sekalian aku ambil pesanannya.” Alhamdulillah, rezeki datang dengan cara yang tak kusangka. Aku pun bisa membelikan susu untuk anakku.

Januari 2010, setelah mendengar ada lowongan guru mata pelajaran ekonomi di sebuah SMA swasta. aku pun ikut mengajukan lamaran. Selain karena sesuai dengan kompetensi keahlianku, aku juga ingin sesuatu yang lebih menantang. Sebagai Sarjana Ekonomi, di MI aku justru mendapat tugas mengajar seni budaya dan keterampilan.

Akhirnya aku diterima sebagai guru ekonomi di SMA dan mendapat jatah mengajar dua hari dalam seminggu. Sehingga aku masih bisa mengabdi di MI. Tetapi kepala madrasahku di MI berpikiran lain. Beliau tidak setuju kalau aku masuk kantor hanya empat hari dalam seminggu. Aku disuruh memilih salah satu, MI atau SMA. Itu bukan situasi yang aku inginkan tetapi saat itu aku harus mengambil keputusan. Akhirnya dengan berat hati, aku berpamitan untuk melanjutkan pengabdian di SMA.

Kejadian itu rupanya menimbulkan gejolak di kalangan guru MI. Mereka menyayangkan kenapa hal itu bisa terjadi. Bukankah seharusnya bisa dicapai win-win solution. Apalagi kepala MI adalah pamanku sendiri. Seminggu setelah aku benar-benar tidak lagi di MI, reaksi teman-teman makin menjadi-jadi dan membuat pengurus yayasan turun tangan. Sampai pada akhirnya, ketua yayasan memerintahkan aku untuk masuk kembali ke MI.

***

Juni 2010, aku memutuskan untuk membangun rumah sendiri. Kondisi rumah mertua yang berbahan utama dari kayu sudah banyak yang lapuk dimakan usia. Meski belum punya tabungan yang cukup tetapi aku tak punya pilihan lain. Saat itu aku hanya punya modal Rp10 juta, itu pun hasil dari mengajukan pinjaman bank. Sambil pembangunan berjalan, kekurangan dana aku dapatkan dari pinjaman saudara dan teman dekat. Orang tuaku sendiri, karena kondisi keuangan, tidak mampu memberikan ‘subsidi’ yang cukup. Tiga minggu proses pembangunan akhirnya rumah kecilku bisa aku tempati.

Desember 2014, aku dinyatakan lulus sertifikasi guru kelas MI. Artinya kesempatan untuk menerima tunjangan profesi sudah di depan mata. Di bulan yang sama, aku dipanggil oleh pengurus yayasan yang menaungi SMA. Beliau menyampaikan kalau aku akan diangkat menjadi wakil kepala sekolah bidang kesiswaan.

Kaget, bahagia, sekaligus bingung. Dua peluang emas yang harus aku pilih salah satu. Jika menerima tawaran menjadi wakil kepala di SMA, konsekuensinya aku harus meninggalkan MI. Karena jabatan wakil kepala mengharuskan aku masuk enam hari dalam seminggu. Tetapi kalau resign dari MI berarti melepas peluang menerima tunjangan yang merupakan impian para guru.

Meskipun sejak aku mengajar di SMA, hubunganku dengan kepala MI tidak lagi ‘mesra’, tetapi aku punya ‘utang jasa’ dengan teman-teman guru di sana. Berkat mereka waktu itu aku bisa kembali mengajar di MI. Sementara di SMA aku merasa potensiku terakomodir. Peluang untuk berkembang terbuka lebar. Berbeda dengan di MI yang cenderung stagnan dan kurang ada tantangan.

Butuh waktu seminggu untuk memutuskan. Melibatkan istri, keluarga, guru bahkan minta petunjuk seorang kiai. Akhirnya aku menerima tantangan tugas baru sebagai wakil kepala SMA bidang kesiswaan. Januari 2015 aku pun dilantik. Berbagai komentar negatif, dialamatkan kepadaku. Aku dianggap bertindak bodoh karena merelakan tunjangan yang sudah di depan mata. Yang lain menilai aku gila jabatan. Semua tak kuhiraukan karena aku tidak mau terjebak dalam zona nyaman.

***

Baru satu semester menjabat sebagai wakil kepala sekolah, aku dinominasikan menjadi suksesor kepala SMA karena masa jabatan kepala SMA saat itu sudah habis dan harus ada pergantian dengan kepala yang baru. Berkat rahmat Allah, setelah melewati rangkaian seleksi, aku dinyatakan lolos dan pada bulan Juni 2015 dilantik untuk periode empat tahun ke depan.

Saat aku menulis cerita ini, Maret 2023, aku masih melaksanakan amanah jabatan itu untuk periode kedua. Sementara jatah tunjangan sertifikasi sebagai guru MI yang telah kuikhlaskan, atas kemurahan Allah, tetap bisa cair sejak 2015 hingga sekarang. Padahal aku tidak pernah mengurus berkas perpindahan tempat tugas dari Kementerian Agama (lembaga yang menaungi MI) ke Dinas Pendidikan (lembaga yang menaungi SMA).

Secara logika, hal itu tidak mungkin. Tetapi ketika Allah sudah berkehendak segalanya menjadi mungkin. “Guru itu gajinya tak seberapa tetapi berkahnya luar biasa,” begitu guruku pernah berpesan. Saat mendengarkan ucapan itu aku hanya mengangguk dan mencoba percaya. Tetapi seiring berjalannya waktu, aku benar-benar telah membuktikannya.

Di kesempatan yang lain, beliau juga pernah memberikan wejangan, “Yen awakmu kepengin sugih ojo dadi guru. Tapi dadi guru iso marai sugih (Jika kamu ingin kaya, jangan memilih profesi menjadi guru. Tetapi guru bisa menjadi orang kaya.)”

Bertahun-tahun kalimat itu aku ingat tanpa mengerti makna dan maksud sebenarnya. Sampai akhirnya aku bertemu pada kesimpulanku sendiri, “Memutuskan berprofesi sebagai seorang guru harus menata niat dan tujuan dari awal. Jika niat dan tujuannya adalah mendapatkan materi maka sebaiknya mencari pekerjaan lain. Karena untuk menjadi guru dibutuhkan keikhlasan dan ketulusan dalam mengabdikan ilmu. Jika itu bisa dipenuhi, insya Allah hidup kita menjadi berkah. Keberkahan hidup itulah “kaya” yang sesungguhnya.”

0 comments:

Posting Komentar