- Si Mbah -
Bulan
Juni tahun 2004. Kuliahku memasuki semester delapan. Di tengah-tengah proses
menyelesaikan skripsi, aku dibuat bimbang dengan tawaran untuk membantu di MI (Madrasah
Ibtidaiyah, setara dengan Sekolah Dasar) sebagai guru dan staf tata usaha.
Aku
sendiri sebenarnya tidak ingin berkarier di dunia pendidikan terutama menjadi
guru. Meskipun orang tua ingin agar aku meneruskan perjuangan kakek. Ya,
kakekku adalah salah satu pendiri dua yayasan pendidikan Islam. Satu di desaku
sendiri dan satunya lagi di desa sebelah. Lima dari delapan anaknya juga telah
mengabdikan diri di lembaga pendidikan. Sementara tiga yang lain memilih
berbisnis, termasuk orang tuaku.
Suatu
hari, dua guru utusan dari MI menemuiku. Tujuannya ingin meyakinkan aku agar
mau bergabung. Awalnya aku menolak dan dibalas dengan counter attack mematikan,
“Madrasah ini yang mendirikan dan memperjuangkan adalah kakekmu. Kalau kamu
sebagai cucunya tidak mau meneruskan perjuangannya, lantas siapa lagi yang akan
menghidupkan madrasah ini ?”
Sebuah
pertanyaan yang membuatku hanya bisa diam. Diucapkan dengan halus tetapi
rasanya seperti tamparan yang sangat keras. Seketika pendirianku goyah dan aku
pun akhirnya mengatakan, “Iya, insya Allah.”
Aku
tahu segala konsekuensi yang harus kuterima. Menjadi seorang guru tidak sekadar
bagaimana mengajar di ruang kelas tetapi harus bisa memberi teladan yang baik
kepada para murid di mana pun aku berada. Mereka belajar tidak hanya dari apa
yang aku ucapkan tetapi juga dari apa yang aku lakukan.
Sebagai
seorang pemuda tentu aku masih ingin menikmati masa mudaku. Tetapi dengan
status seorang guru tentu semuanya menjadi tidak leluasa. Ada etika dan marwah
profesi yang wajib aku jaga. Tanggung jawab moral itulah alasan sebenarnya
mengapa dari dulu aku tidak mau menjadi seorang guru.
Jika
kemudian aku menerima tawaran, karena madrasah itu adalah sekolah pertamaku,
tempat aku mengenal angka dan bisa mengeja aksara. Begitu banyak ilmu yang aku
dapatkan dari sana. Jadi ini saatnya untuk memberikan sesuatu kepada lembaga
yang membesarkanku.
***
Setelah
menyelesaikan kuliah pada April 2005 dan menyandang gelar Sarjana Ekonomi, pada
Oktober 2006, aku memutuskan untuk mengakhiri masa lajangku. Menikah di usia
dua puluh empat tahun, banyak yang menilai aku terlalu berani mengambil risiko.
Usia masih tergolong muda, baru saja lulus kuliah dan penghasilan yang dinilai
belum cukup sebagai modal mengarungi bahtera rumah tangga.
Sebagai
guru yang belum genap dua tahun bertugas, honorku waktu itu tidak sampai menyentuh
angka Rp800.000,00. Memang aku punya kerja sampingan, membantu kakakku
mengelola usaha percetakan tetapi hasilnya tidak lebih banyak dari yang aku
terima dari madrasah.
Dibesarkan
di keluarga yang mayoritas berprofesi sebagai pendidik, cucu dari seorang kiai
yang begitu ditokohkan di lingkungan desaku, juga menyandang status sebagai
seorang guru, menjadikanku tak bisa berlama-lama menjalani masa pacaran.
Apalagi orang tuaku pernah memberi nasihat bahwa menikah adalah ibadah.
Bahkan
bapakku pernah berujar dengan kalimat yang sedikit lebih ekstrem, “Ojo
nunggu duwe duit lagi kawin, nanging kawino mengko duite teko. (Jangan
menunggu punya uang banyak baru menikah, tetapi menikahlah nanti uang akan
datang.)”
Sejak
menikah aku tinggal di rumah mertua. Bapak dan ibu mertuaku sudah tua renta,
istriku yang merupakan anak bungsu dan satu-satunya yang tinggal serumah,
membuat aku tidak punya pilihan lain. Di rumah itu aku jadi tulang punggung.
Kebutuhan sehari-hari menjadi tanggung jawabku. Sementara honorku dari madrasah
sudah habis untuk membayar angsuran pinjaman koperasi yayasan. Pinjaman itu aku
ambil untuk biaya pernikahanku waktu itu. Bahkan aku masih harus menutup
sekitar Rp200.000,00 setiap bulannya. Situasi makin sulit karena aku masih
mempunyai cicilan kredit sepeda motor yang per bulannya mencapai Rp267.000,00.
Tepat
setahun setelah menikah, anak pertamaku lahir. Inilah ujian dan tantangan berikutnya.
Sebagai orangtua, aku harus mampu merawat dan mendidiknya dengan baik. Termasuk
mempersiapkan dana tambahan untuk membiayai semua kebutuhannya. Padahal cash
flow keuanganku setiap bulan hampir selalu defisit. Lagi-lagi, nasihat
bapak yang membuatku tetap tenang dan optimis, anak itu ada rezekinya
sendiri, dijamin oleh Allah.
***
Ternyata
matematika Allah berbeda dengan matematika manusia. Suatu hari setelah subuh,
istriku memberitahu kalau susu untuk si kecil habis. Sementara saat itu aku
tidak memegang uang serupiah pun. “Iya, nanti siang pulang dari kantor sekalian
aku belikan.” Jawabanku menenangkan istriku sambil berpikir dari mana aku dapat
uangnya.
Allah
Maha Pemurah dan Penyayang. Seketika itu Dia tunjukkan kepadaku. Menjelang
berangkat ke kantor, ada seorang wanita yang datang ke rumah memesan sablon
atribut sekolah. Setelah negosiasi sebentar akhirnya kami sepakat dengan
harganya Rp70.000,00 yang harus ia bayar. Selembar uang pecahan Rp100.000,00 ia
sodorkan, dan tentunya aku tidak punya uang kembalian. Karena kami berdua
buru-buru untuk segera berangkat kerja, akhirnya ia bilang, “Ya udah
kembaliannya besok aja sekalian aku ambil pesanannya.” Alhamdulillah, rezeki
datang dengan cara yang tak kusangka. Aku pun bisa membelikan susu untuk
anakku.
Januari
2010, setelah mendengar ada lowongan guru mata pelajaran ekonomi di sebuah SMA swasta.
aku pun ikut mengajukan lamaran. Selain karena sesuai dengan kompetensi
keahlianku, aku juga ingin sesuatu yang lebih menantang. Sebagai Sarjana
Ekonomi, di MI aku justru mendapat tugas mengajar seni budaya dan keterampilan.
Akhirnya
aku diterima sebagai guru ekonomi di SMA dan mendapat jatah mengajar dua hari
dalam seminggu. Sehingga aku masih bisa mengabdi di MI. Tetapi kepala
madrasahku di MI berpikiran lain. Beliau tidak setuju kalau aku masuk kantor
hanya empat hari dalam seminggu. Aku disuruh memilih salah satu, MI atau SMA.
Itu bukan situasi yang aku inginkan tetapi saat itu aku harus mengambil
keputusan. Akhirnya dengan berat hati, aku berpamitan untuk melanjutkan
pengabdian di SMA.
Kejadian
itu rupanya menimbulkan gejolak di kalangan guru MI. Mereka menyayangkan kenapa
hal itu bisa terjadi. Bukankah seharusnya bisa dicapai win-win solution.
Apalagi kepala MI adalah pamanku sendiri. Seminggu setelah aku benar-benar
tidak lagi di MI, reaksi teman-teman makin menjadi-jadi dan membuat pengurus
yayasan turun tangan. Sampai pada akhirnya, ketua yayasan memerintahkan aku
untuk masuk kembali ke MI.
***
Juni
2010, aku memutuskan untuk membangun rumah sendiri. Kondisi rumah mertua yang
berbahan utama dari kayu sudah banyak yang lapuk dimakan usia. Meski belum
punya tabungan yang cukup tetapi aku tak punya pilihan lain. Saat itu aku hanya
punya modal Rp10 juta, itu pun hasil dari mengajukan pinjaman bank. Sambil
pembangunan berjalan, kekurangan dana aku dapatkan dari pinjaman saudara dan
teman dekat. Orang tuaku sendiri, karena kondisi keuangan, tidak mampu
memberikan ‘subsidi’ yang cukup. Tiga minggu proses pembangunan akhirnya rumah
kecilku bisa aku tempati.
Desember
2014, aku dinyatakan lulus sertifikasi guru kelas MI. Artinya kesempatan untuk
menerima tunjangan profesi sudah di depan mata. Di bulan yang sama, aku
dipanggil oleh pengurus yayasan yang menaungi SMA. Beliau menyampaikan kalau
aku akan diangkat menjadi wakil kepala sekolah bidang kesiswaan.
Kaget,
bahagia, sekaligus bingung. Dua peluang emas yang harus aku pilih salah satu.
Jika menerima tawaran menjadi wakil kepala di SMA, konsekuensinya aku harus
meninggalkan MI. Karena jabatan wakil kepala mengharuskan aku masuk enam hari
dalam seminggu. Tetapi kalau resign dari MI berarti melepas peluang
menerima tunjangan yang merupakan impian para guru.
Meskipun
sejak aku mengajar di SMA, hubunganku dengan kepala MI tidak lagi ‘mesra’,
tetapi aku punya ‘utang jasa’ dengan teman-teman guru di sana. Berkat mereka
waktu itu aku bisa kembali mengajar di MI. Sementara di SMA aku merasa
potensiku terakomodir. Peluang untuk berkembang terbuka lebar. Berbeda dengan
di MI yang cenderung stagnan dan kurang ada tantangan.
Butuh
waktu seminggu untuk memutuskan. Melibatkan istri, keluarga, guru bahkan minta
petunjuk seorang kiai. Akhirnya aku menerima tantangan tugas baru sebagai wakil
kepala SMA bidang kesiswaan. Januari 2015 aku pun dilantik. Berbagai komentar
negatif, dialamatkan kepadaku. Aku dianggap bertindak bodoh karena merelakan
tunjangan yang sudah di depan mata. Yang lain menilai aku gila jabatan. Semua
tak kuhiraukan karena aku tidak mau terjebak dalam zona nyaman.
***
Baru
satu semester menjabat sebagai wakil kepala sekolah, aku dinominasikan menjadi
suksesor kepala SMA karena masa jabatan kepala SMA saat itu sudah habis dan
harus ada pergantian dengan kepala yang baru. Berkat rahmat Allah, setelah
melewati rangkaian seleksi, aku dinyatakan lolos dan pada bulan Juni 2015
dilantik untuk periode empat tahun ke depan.
Saat
aku menulis cerita ini, Maret 2023, aku masih melaksanakan amanah jabatan itu
untuk periode kedua. Sementara jatah tunjangan sertifikasi sebagai guru MI yang
telah kuikhlaskan, atas kemurahan Allah, tetap bisa cair sejak 2015 hingga
sekarang. Padahal aku tidak pernah mengurus berkas perpindahan tempat tugas
dari Kementerian Agama (lembaga yang menaungi MI) ke Dinas Pendidikan (lembaga
yang menaungi SMA).
Secara
logika, hal itu tidak mungkin. Tetapi ketika Allah sudah berkehendak segalanya
menjadi mungkin. “Guru itu gajinya tak seberapa tetapi berkahnya luar biasa,”
begitu guruku pernah berpesan. Saat mendengarkan ucapan itu aku hanya
mengangguk dan mencoba percaya. Tetapi seiring berjalannya waktu, aku
benar-benar telah membuktikannya.
Di
kesempatan yang lain, beliau juga pernah memberikan wejangan, “Yen awakmu
kepengin sugih ojo dadi guru. Tapi dadi guru iso marai sugih (Jika kamu
ingin kaya, jangan memilih profesi menjadi guru. Tetapi guru bisa menjadi orang
kaya.)”
Bertahun-tahun
kalimat itu aku ingat tanpa mengerti makna dan maksud sebenarnya. Sampai
akhirnya aku bertemu pada kesimpulanku sendiri, “Memutuskan berprofesi sebagai
seorang guru harus menata niat dan tujuan dari awal. Jika niat dan tujuannya
adalah mendapatkan materi maka sebaiknya mencari pekerjaan lain. Karena untuk
menjadi guru dibutuhkan keikhlasan dan ketulusan dalam mengabdikan ilmu. Jika
itu bisa dipenuhi, insya Allah hidup kita menjadi berkah. Keberkahan
hidup itulah “kaya” yang sesungguhnya.”
0 comments:
Posting Komentar