Sistem zonasi pertama kali diterapkan pada tahun 2017. Dasarnya adalah
Permendikbud nomor 17 tahun 2017 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru jenjang
SD, SMP, SMA dan yang sederajat. Dalam peraturan tersebut dijelaskan bahwa
sasaran kebijakan sistem zonasi adalah SD negeri, SMP negeri dan SMA negeri.
Selain tiga kelompok sekolah tersebut, bebas menerapkan kebijakan penerimaan peserta
didik baru secara mandiri.
Sistem
zonasi merupakan sistem penerimaan peserta didik baru yang didasarkan pada
radius zona domisili calon peserta didik yang terdekat dengan sekolah.
Penentuan zonanya diatur oleh pemerintah daerah masing-masing.[1]
Regulasi yang digulirkan oleh Muhadjir Effendy selaku Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan waktu itu mempunyai tujuan yang mulia. Diantaranya percepatan pemerataan
akses dan kualitas layanan pendidikan. Selain itu pemerintah ingin menghapus “kasta”
dalam sistem pendidikan di Indonesia. Tidak boleh lagi ada label sekolah
favorit dan tidak favorit.
Sistem zonasi di mata orang tua
Meskipun
dari tahun ke tahun pemerintah telah melakukan penyempurnaan aturan pelaksanaan
sistem tersebut, faktanya masalah baru selalu bermunculan. Kerancuan dalam
penafsiran kebijakan oleh pemerintah daerah dan pimpinan sekolah adalah salah
satu penyebabnya. Perbedaan dalam memahami dan menerapkan kebijakan dari
pemerintah pusat memberi celah bagi calon peserta didik
untuk bertindak curang.
Keinginan
untuk menyekolahkan anaknya di sekolah negeri favorit pilihannya, seringkali
membuat para orang tua melakukan segala cara agar cita-cita mereka terpenuhi.
Termasuk menempuh cara-cara yang tidak jujur. Ada yang memalsukan surat keterangan
domisili, kartu keluarga, sampai dengan menggeser titik lokasi di google
maps agar bisa masuk zona sekolah yang diinginkan.
Orang tua
menyekolahkan anaknya berarti memberinya fasilitas dan kesempatan untuk
mengenyam pendidikan. Tujuannya agar mereka tumbuh menjadi pribadi yang
beriman, berilmu dan berakhlak. Tetapi, bagaimana mungkin, orang tua menginginkan
anak-anaknya kelak menjadi insan yang jujur sementara cara yang ditempuh jauh
dari prinsip kejujuran. Mereka ingin anak-anaknya berakhlak baik tetapi para
orang tua justru memberikan contoh akhlak yang buruk.
Sistem
zonasi bagi sekolah negeri
Tidak
hanya muncul dari eksternal sekolah, penerapan sistem zonasi juga banyak
dikeluhkan oleh pihak internal sekolah. Bukan karena prosedur dan administrasi
pendaftarannya yang merepotkan melainkan lebih pada dampak yang ditimbulkan.
Bagi
sekolah negeri, terutama yang selama ini berlabel favorit, sistem zonasi
mengakibatkan menurunnya kualitas input peserta didik. Dahulu, sebelum sistem
zonasi diberlakukan, sekolah negeri favorit bisa memperoleh input peserta didik
berpotensi dan berprestasi dengan sangat mudah. Bahkan stoknya sampai “melimpah
ruah”. Mereka tinggal menyaringnya dengan tahapan seleksi yang mereka tentukan
secara mandiri.
Hubungan
simbiosis mutualisme. Sekolah negeri favorit membutuhkan peserta didik terbaik agar
bisa terus menjaga eksistensi prestasi dan prestise sekolah. Sementara peserta
didik berprestasi juga butuh sekolah yang benar-benar mampu mengembangkan
potensi yang dimiliki dan meningkatkan prestasinya.
Sejak era
sistem zonasi dimulai, sekolah negeri mulai sulit mendapatkan stok “bibit
unggul”. Memang masih ada peluang melalui jalur prestasi tetapi persentase
kuotanya tentu sangat kecil. Sehingga alih-alih memacu prestasi sekolah, para
guru di sekolah negeri kini justru dipusingkan dengan pengelolaan kelas dan
pembinaan peserta didik.
Barangkali
karena mereka terlalu lama berada di zona nyaman. Menikmati asyiknya mengajar
peserta didik unggulan. Anak-anak yang mempunyai intelegensi di atas rata-rata,
motivasi belajar tinggi, dan kondisi ekonomi orang tua mapan, tentu tugas guru
menjadi lebih ringan. Cukup sedikit sentuhan dan polesan maka butiran-butiran
mutiara itu akan mengilap. Ibarat mesin, hanya dengan sekali klik tombol
di remote control maka mesin akan berjalan seperti yang mereka inginkan.
Berbeda dengan kondisi sekarang. Sekolah negeri kini tidak lagi menjadi muara anak-anak yang terlahir dengan bakat luar biasa. Karena sebagian besar yang masuk adalah para “tetangga” sekolah yang mempunyai tingkat kecerdasan beragam. Latar belakang ekonomi dan sosial keluarga juga bermacam-macam. Mengajar peserta didik dengan kondisi heterogen seperti itu tentu jauh lebih sulit dan menantang. Butuh kreativitas, kerja keras dan kesabaran tinggi. Kondisi inilah yang mereka keluhkan.
Keluhan sistem zonasi di sekolah swasta
Bagaimana
dengan sekolah swasta? Ternyata keluhan muncul juga. Terutama dari sekolah
swasta yang “kurang punya nama”. Penyebabnya adalah jumlah penerimaan peserta
didik baru yang semakin menurun. Mereka berdalih, penerapan sistem zonasi
menjadi biang keladinya.
Selama
ini salah satu target pasar mereka yakni para calon peserta didik dengan nilai
akademik pas-pasan dan kalah bersaing masuk sekolah negeri. Kebutuhan akan
kuantitas input peserta didik membuat sekolah swasta menerapkan aturan persyaratan
dan sistem seleksi masuk yang sangat ringan. Kualitas calon peserta didik belum
menjadi prioritas.
Setelah
sistem zonasi diterapkan, calon peserta didik yang selama ini menjadi target
pasar mereka kini mempunyai peluang besar masuk sekolah negeri. Apalagi jika
lokasi sekolah swasta berdekatan dengan sekolah negeri. Tentu persaingan
memperebutkan calon peserta didik baru semakin berat. Akhirnya, tidak sedikit
sekolah swasta yang sepi peminat bahkan terancam gulung tikar.
Benarkah
sistem zonasi hanyalah sebuah kebijakan yang merepotkan? Sekali lagi, perlu
dipahami dan diingat tujuan sistem itu diterapkan. Kalau sekolah hanya mau
menerima peserta didik yang berkualitas, lantas mereka yang kemampuannya
terbatas harus mencari sekolah di mana? Kalau guru mengeluh menghadapi peserta
didik yang lambat dalam menyerap materi pelajaran, lalu apa sebenarnya fungsi
profesi yang dia sandang?
Bukankah
yang membutuhkan bimbingan, arahan dan pengajaran ekstra adalah anak-anak
dengan keterbatasan kemampuan? Perhatian lebih juga harusnya ditunjukkan oleh
guru dan pimpinan sekolah kepada para peserta didik dari keluarga kurang mampu
ataupun broken home. Karena memang itulah fungsi sekolah sebagai lembaga
pendidikan dan guru sebagai pendidik.
Bagi
sekolah swasta, semestinya tidak perlu takut dengan sistem zonasi. Kalau ingin
berkembang dan besar maka sekolah harus mendapat kepercayaan dari masyarakat.
Agar dipercaya masyarakat maka sekolah harus memberikan layanan pendidikan yang
prima. Layanan pendidikan yang prima tidak selalu harus bergantung dari
kebijakan pemerintah.
Inovasi
dan kreativitas dalam menyusun program yang menjadi unggulan sekolah sangat
diperlukan. Sekolah perlu melihat ke dalam, mengetahui kekuatan dan
kelemahannya. Lalu menatap keluar, meneropong potensi lingkungan dan ancaman
dari pesaing. Dari situ bisa dirumuskan langkah-langkah strategis untuk
memajukan sekolah. Dalam hal ini, pimpinan sekolah juga harus mengajak para stakeholder
untuk duduk bersama.
Jika
selama ini sekolah swasta cenderung sulit bersaing dalam bidang prestasi
akademik maka mereka bisa fokus dalam program pengembangan bidang nonakademik.
Misalnya pembinaan prestasi olahraga, pengembangan keterampilan dan
kewirausahaan atau pembinaan bidang kesenian. Dari sekian banyak potensi yang
dimiliki, sekolah bisa mengangkat satu bidang untuk dijadikan program unggulan.
Kalau sekolah konsisten dalam menjalankan programnya maka itu bisa menjadi school
branding.
School
branding tidak hanya melalui kegiatan prestasi tetapi bisa juga kegiatan
nonprestasi. Program pembiasaan karakter yang menjadi budaya sekolah bisa
diangkat menjadi keunggulan dan brand sekolah. Misalnya sekolah ramah
anak, sekolah jujur, sekolah bersih, sekolah berakhlak dan lain-lain.
Seperti
dua sisi mata uang. Segala sesuatu pasti ada sisi baik dan buruknya. Postif dan
negatif, manfaat dan mudarat. Apa yang kita rasakan tergantung dari cara
pandang kita terhadap suatu masalah. Jika kita berpikir positif maka insyaallah
hal-hal baik yang akan kita terima. Sebaliknya jika pikiran kita dipenuhi
dengan prasangka-prasangka buruk maka bisa jadi hal-hal tidak baik yang akan
datang dalam hidup kita. Naudzubillah min dzalik.
Jadi, daripada
kita berlarut-larut menangisi sistem zonasi, lebih baik kita kerahkan energi
kita untuk mencari solusi yang inovatif dan progresif.
***
[1]
Khadowmi, E. R. (2019). Implementasi Kebijakan Sistem Zonasi terhadap Proses
Penerimaan Peserta Didik Baru Kabupaten Lampung Tengah. In Thesis. Lampung:
Universitas Bandar Lampung.
0 comments:
Posting Komentar