..

Buku Antologi Esai dan Opini

Minat Baca Bukunya? Silahkan DM akun instagram @bud11smail

Buku Antologi Berbagai Genre

Minat Baca Bukunya? Silahkan DM akun instagram @bud11smail

Buku Antologi Berbagai Genre

Minat Baca Bukunya? Silahkan DM akun instagram @bud11smail

Buku Antologi Kisah Nyata Inspiratif

Minat Baca Bukunya? Silahkan DM akun instagram @bud11smail

Buku Antologi Narasi Eksposisi

Minat Baca Bukunya? Silahkan DM akun instagram @bud11smail

27 Januari 2024

Belajar Hidup Sederhana dari Orang Cina

 



Jika hidup sederhana bisa bahagia, kenapa harus menyusahkan diri dengan berpura-pura kaya?

 

Halan mulai merasa lega. Matanya yang sejak tadi sulit ia buka karena mengantuk berat, kini bisa ia buka lebar-lebar. Penat yang ia rasakan kini mulai sirna. Terguncang-guncang di dalam mobil selama delapan jam menyusuri jalanan kota. Perjalanan yang amat melelahkan. Tetapi itu tak seberapa bila dibandingkan dengan kebahagiaan pulang ke kampung halaman, Bertemu dengan ibu yang sudah ia rindukan.

Perasaannya campur aduk. Bahagia dan terharu. Mulutnya tersenyum tetapi bola matanya berkaca-kaca. Di kejauhan, samar-samar mulai terlihat gapura perbatasan desa yang juga menjadi gerbang masuk tanah kelahirannya. Meski sudah sepuluh tahun tidak ia lewati, tetapi Halan masih hafal betul jalan itu. Wajar karena masa kecil hingga remajanya ia habiskan di sana.

Halan meminta sopir pribadinya agar melambatkan laju mobil. Ia ingin menikmati suasana di sepanjang jalan masuk desa itu. Sambil memutar memorinya kembali ke masa lalu. Deretan bangunan di sepanjang jalan itu ia amati satu per satu. Hampir semua berubah. Semakin terlihat mewah dan megah. Kecuali tiga kios di kompleks ruko yang ternyata tampilannya masih sama persis seperti sepuluh tahun yang lalu.

Halan pun tidak kesulitan mengingat siapa pemilik tiga kios tersebut. Ya, tiga kios yang masing-masing berjualan kue, peralatan listrik dan agen koran itu dimiliki oleh satu keluarga keturunan Tionghoa. Kios itu sudah berdiri puluhan tahun. Bahkan saat Halan kecil, kios itu sudah berdiri di sana.

Pernah suatu hari saat Halan membeli koran, ia sempatkan ngobrol dengan pemiliknya. Om Wang, begitu orang-orang biasa menyapanya. Halan menanyakan alasan kenapa tidak mau merenovasi kiosnya, atau sekedar mengganti catnya agar lebih fresh dan menarik. “Kenapa aku harus membebani diriku untuk melakukan sesuatu yang aku sendiri belum mampu?” jawab Om Wang dengan santai. “Dengan tampilan begini saja, kiosku sudah ramai. Ngapain tak bikin megah. Nanti malah orang-orang bingung dikira kiosku pindah” sambungnya memberi penjelasan. 

***



Kalau kita cermati apa yang dikatakan Om Wang sebenarnya itu bagian dari strategi bisnisnya. Pertama, tidak mau mengganti tampilan kios merupakan salah satu bentuk strategi product positioning. Positioning produk adalah salah satu tindakan yang dilakukan perusahaan untuk membuat produknya selalu diingat oleh customer.

Menurut Kotler dan Keller (2009), positioning adalah pengaturan produk untuk menduduki tempat yang jelas, berbeda, dan diinginkan dibandingkan produk pesaing dalam pikiran konsumen sasaran. Tujuan dari positioning adalah untuk menempatkan merek dalam pikiran konsumen guna memaksimalkan manfaat potensial bagi perusahaan. Dengan tidak mengubah tampilannya, para pelanggan Om Wang akan sangat mudah menemukan kiosnya, meskipun kios-kios di sekitarnya telah berubah wajah.

Kedua, dengan tidak merenovasi bangunan kiosnya sehingga tampilannya masih tetap terlihat klasik, sederhana dan jauh dari kategori modern maka Om Wang terhindar dari pajak bangunan yang tinggi. Bukankah ini juga bagian dari penghematan pengeluaran?

Tidak hanya tentang strategi bisnis yang memang orang-orang Cina adalah jagonya, prinsip hidup mereka juga patut kita jadikan referensi. Ada sebuah “rumus” yang dipegang kuat oleh Om Wang dan keluarganya. Apa itu? Berapapun penghasilan yang ia dapatkan maka harus dibagi menjadi tiga bagian. Sepertiga untuk makan, sepertiga untuk saving dan sepertiga lainnya untuk investasi.

Rumus hidup tersebut telah mereka terapkan bertahun dan diajarkan secara turun temurun. Itulah yang membuat bisnis mereka tetap survive di saat para pengusaha di sekelilingnya banyak yang gulung tikar.

Di tengah zaman yang semakin maju dan modern, kita sering terjebak ke dalam gaya hidup hedonisme. Mencari kesenangan tanpa batas hingga lupa bahwa ada hidup dan kehidupan selanjutnya yang harus mereka persiapkan. Seringkali berapapun uang yang kita dapatkan, habis untuk urusan perut dan kesenangan.

Banyak dari kita membeli sesuatu berdasarkan keinginan bukan karena kebutuhan. Bahkan tidak jarang hanya karena alasan gengsi dan status sosial. Parahnya lagi, hal itu mereka lakukan di luar batas kemampuan finansialnya. Mencari pinjaman adalah solusi instan yang mereka ambil tanpa memikirkan bagaimana caranya pinjaman itu akan mereka kembalikan. Resiko terberatnya, cash flow usahanya terganggu, bisnisnya tidak berkembang hidupnya mulai dilanda kesulitan dan ending-nya aset yang mereka miliki akan habis terjual.

Sebagai umat beragama seharusnya kita patuh dengan apa yang telah diajarkan oleh agama kita. Termasuk ajaran tentang hidup sederhana. Tidak ada satu pun agama di dunia ini yang memerintahkan umatnya untuk hidup boros atau bermewah-mewahan.

Bagi umat Islam, Alquran telah mengajarkan kita untuk menghindari hidup boros. "Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya." (QS. Al Isra [17]: 27). Allah juga melarang hamba-Nya untuk hidup bermewah-mewahan. Bahkan dengan ancaman siksaan yang berat. “Di akhirat orang yang hidup bermewah-mewahan akan minta tolong atas siksaan yang ditimpakan” (Al Mukminun [23]:64).

“Kenapa aku harus membebani diriku untuk melakukan sesuatu yang aku sendiri belum mampu”. Perkataan Om Wang itu memberi pesan kepada kita, Jika hidup sederhana bisa bahagia, kenapa harus menyusahkan diri dengan berpura-pura kaya?

***



Jendela inspirasi:

1.     Hidup mewah di luar batas kemampuan hanya akan mempersulit diri sendiri. Karena justru pola hidup sederhana akan membuat kita merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya.

2.    Membeli berdasarkan kebutuhan akan mendapatkan manfaat. Sedangkan membeli berdasarkan keinginan semata berpotensi memunculkan mudarat.

***



[1] Philip Kotler dan Kevin Lane Keller. 2009. Manajemen Pemasaran. Jakarta: Erlangga.

 sumber gambar: kompas.com



x

26 Januari 2024

Tradisi Buwuhan dan Pergeseran Nilai di Masyarakat

 


Hiasi setiap kebaikanmu dengan ketulusan. Niscaya kebaikan lain akan datang dalam hidupmu dari arah yang tak pernah kau perkirakan.

 

Sudah setengah jam lebih, Herman duduk sendirian di teras sebuah rumah. Lelaki paruh baya itu masih sabar menunggu sang pemilik rumah keluar untuk menemuinya. Sebatang rokok terselip di antara jari telunjuk dan jari tengahnya. Sesekali dihisapnya rokok itu dalam-dalam agar kejenuhan dan rasa kantuknya segera menghilang.

Hari itu sudah lima rumah ia datangi tetapi tak seorang pun berhasil ia temui. Semua pintu terkunci rapat sementara sang pemilik rumah memilih berdiam di dalam atau sengaja pergi menghindar agar tidak bersua dengan juru tagih yang "menyeramkan" itu.

Bagi Herman, jika bukan karena tugas kantor pasti tak sudi ia berlama-lama menunggu seorang diri. Bergegas pulang, menikmati sore, bercengkerama bersama anak dan istri, menjadi kegiatan yang menyenangkan baginya. Tetapi ia tak bisa segera melakukannya karena harus memenuhi target setoran angsuran. Apalagi hari itu sudah memasuki akhir bulan.

Di kampung yang mayoritas warganya bekerja sebagai buruh pabrik itu, belasan kepala keluarga menjadi nasabahnya. Besar pinjamannya beragam, mulai dari Rp500.000,00 hingga Rp3.000.000,00. Angsuran dibayar setiap hari sebanyak 15 kali. Meskipun biaya administrasinya besar dan bunga pinjamannya “mencekik leher” tetapi model pinjaman seperti itu mereka pilih karena prosedurnya mudah dan persyaratannya ringan. Dengan hanya bermodal fotokopi KTP, pinjaman akan cair tak lebih dari dua hari kerja.

Rokok Herman sudah hampir habis seiring kesabarannya yang juga mulai menipis. Saat dia hendak beranjak dari rumah itu, tiba-tiba datang seorang wanita dengan mengendarai sepeda motor bersama dengan dua anak kecil. Yang masih balita ia gendong sedangkan yang agak besar duduk di jok belakang. Dilihat dari fisiknya, wanita itu masih berusia cukup muda, kurang dari 30 tahun. Namanya Zaskia Meilasari, tetangganya memanggil dengan sebutan Memei. Dialah sang pemilik rumah, orang yang sedang ditunggu Herman.

Herman gembira karena merasa penantiannya tak berakhir sia-sia dan tidak jadi pulang dengan tangan kosong. Sebaliknya wanita itu tampak kaget dan bingung melihat Herman masih ada di rumahnya. Terbayang olehnya umpatan dan kata-kata kasar akan keluar dari mulut Herman seperti yang sering ia terima ketika juru tagih itu datang meminta uang angsuran dan Memei hanya bisa memberikan janji.

“Eh, yang ditunggu akhirnya datang juga,” sapa Herman dengan logat khasnya sebagai orang Batak, menyambut kedatangan Memei sembari bangkit dari tempat duduknya.

“Iya Pak Herman, ini habis menjemput anak pulang sekolah,” balas Memei dengan rona yang menampakkan kebingungan.

Siang itu, Memei harus menyediakan uang Rp875.000,00 untuk membayar angsuran hari itu dan dua hari sebelumnya yang belum ia bayar. Nominal sebesar itu sudah termasuk bunga pinjaman dan denda keterlambatan. Memei yang seorang ibu rumah tangga dengan dua anak dan bersuami seorang buruh harian di home industry milik tetangganya memang sangat kesulitan untuk memenuhi kewajibannya membayar angsuran. Selama ini gaji yang diperoleh suami Memei menjadi tumpuan satu-satunya untuk memenuhi kebutuhan harian keluarganya.

Dengan pola hidup sederhana yang diterapkan Memei, sebenarnya penghasilan suaminya sudah cukup untuk menafkahi keluarganya. Yang menyebabkan dia akhirnya terjebak dalam lilitan utang riba adalah karena harus mengeluarkan sumbangan untuk kerabatnya yang mengadakan hajatan pernikahan.

Tradisi yang berlaku di kampung itu, siapa pun yang pernah menerima sumbangan saat mengadakan hajatan maka wajib baginya mengembalikan kepada sang pemberi sumbangan. Pengembalian itu dilakukan dalam bentuk dan nilai yang sama ketika sang pemberi sumbangan sedang punya hajat

Memei yang tiga bulan sebelumnya menggelar acara syukuran khitanan anak sulungnya, harus mengeluarkan banyak uang untuk memberikan sumbangan kepada beberapa tetangganya yang mengadakan hajatan. Dengan penghasilan suaminya yang pas-pasan tentu ia harus mencari sumber lain untuk mendapatkan uang sesuai yang ia butuhkan untuk menyumbang. Rentenir yang berlabel koperasi akhirnya menjadi solusi instan bagi masalah keuangannya.

“Gimana bu, sudah ada uangnya?” tanya Herman menagih. Setelah lama menunggu, ia tak mau basa-basi dan ingin agar urusannya dengan Memei segera selesai.

“Maaf Pak Herman, saya belum ada uang. Suami saya belum pulang.” jawab Memei sambil gemeteran. Belum sempat ia turun dari motor. Hanya anak sulungnya yang sudah bergegas masuk ke dalam rumah. Air mulai keluar dari sudut matanya, mengalir membasahi kedua pipinya.

“Lha terus gimana, Bu? ini kan sudah akhir bulan. Ibu harus membayar semua tunggakan ibu sampai hari ini.” Herman sudah mulai menampakkan karakter aslinya, keras dan galak.

“Kalau ibu tak ada uang, kasih aku barang yang ibu punya,” lanjut Herman menggertak.

Memei semakin bingung. Ia sama sekali tak punya uang untuk membayar angsuran pinjamannya. Kalau pun harus membayarnya dengan barang, barang apa yang ia serahkan. Perabotan di rumahnya pun juga tidak banyak. Diliputi perasaan takut membuat Memei tak bisa berpikir jernih. Tanpa pikir panjang, ia melepas cincin emas yang ada di jari manisnya. Itu adalah cincin pemberian suaminya ketika mereka melangsungkan pernikahan.

“Ini kamu bawa cincin ini. Besok kalau saya sudah punya uang, tolong kembalikan cincin itu kepadaku,” ucap Memei sambil menyerahkan satu-satunya perhiasan yang melekat di tubuhnya kepada Herman. Herman hanya diam tak mengeluarkan sepatah kata pun. Dimasukkannya cincin itu ke saku bajunya lalu bergegas pergi meninggalkan Memei yang masih berlinang air mata sambil mengelus-elus sang buah hati yang terlelap dalam gendongannya.

***

Di kalangan masyarakat Jawa berkembang tradisi buwuh atau buwuhan. Menurut Isnaini Rahmat sebagaimana dikutip oleh Sunarto bahwa tradisi atau budaya buwuhan sering diartikan sebagai pemberian sumbangan baik berupa barang atau uang kepada pihak yang sedang menyelenggarakan hajatan atau pesta.[1] Adapun sumbangan yang berupa barang tersebut biasanya berupa rokok atau kebutuhan pokok seperti beras, gula, minyak goreng, sayuran dan lain-lain.

Kata “pemberian” dalam Islam disebut hibah. Hibah menurut bahasa adalah menyedekahkan atau memberi sesuatu, baik berbentuk harta maupun selain itu kepada orang lain. Menurut istilah syar’i, hibah adalah suatu akad yang mengakibatkan berpindahnya kepemilikan harta dari seseorang kepada orang lain dengan tanpa balasan, dan dilakukan selama masih hidup.[2]

Awalnya buwuhan adalah bagian dari solidaritas secara kolektif masyarakat desa bagi tetangga atau kerabat yang sedang mengadakan acara atau hajatan tertentu. Hal ini bertujuan untuk mempererat silaturahmi dan memperkuat ukhuwah islamiyah. Selain itu dengan memberikan sumbangan berarti ikut membantu meringankan beban yang punya hajat. Dalam Alquran telah dijelaskan, “Tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. Al-Maidah[5]: 2)[3]

Ketika seseorang menyelenggarakan hajatan, tujuan sebenarnya adalah sebagai ungkapan rasa syukur atas nikmat yang diberikan oleh Allah. Biasanya dengan mengundang kerabat untuk ikut merayakannya dan menikmati hidangan yang telah disediakan. Jadi tidak bertujuan untuk mengumpulkan uang dan sumbangan dari para tamu. Maka bagi yang diundang, tidak ada kewajiban untuk membawa uang atau memberikan sumbangan.

Akan tetapi jika tamu yang diundang ingin memberikan hadiah sebagai ungkapan selamat dan turut berbahagia maka hal itu sangat dianjurkan dalam Islam. Rasulullah saw. pernah bersabda dalam sebuah hadis, “Saling memberi hadiahlah kalian niscaya kalian akan saling mencintai.” (HR. Bukhari nomor 594).

Seiring dengan modernisasi dan perubahan sosial, konsep buwuhan pun mulai mengalami perubahan dan pergeseran. Buwuhan tidak lagi sebagai bagian dari solidaritas dan bantuan tetapi terdapat prinsip resiprositas. Resiprositas adalah sebuah aktivitas pertukaran yang mengandung unsur timbal-balik antarpelakunya, baik itu individu maupun kelompok.[4]

Berdasarkan realita di masyarakat, ada dua bentuk buwuhan yaitu: pertama, buwuhan yang bersifat sukarela dan tidak mengharapkan pengembalian. Biasanya baik pihak penyumbang maupun tuan rumah tidak mencatat bentuk dan besarnya sumbangan yang diberikan.

Kedua, buwuhan yang dimaknai utang piutang dan suatu saat harus dikembalikan oleh sang penerima ketika sang penyumbang gantian mengadakan hajatan. Sebagian masyarakat Jawa menyebutnya dengan istilah iriban. Agar pengembaliannya sama, biasanya sang penyumbang menuliskan namanya pada buwuhan yang diberikan. Sang penerima pun mencatatnya di buku atau daftar khusus yang telah dipersiapkan.

Dengan adanya perubahan nilai dalam tradisi buwuhan yang dulunya bersifat suka rela bergeser pada upaya pengumpulan materi, berdampak pada dua hal yaitu: pertama, hilangnya semangat gotong royong di masyarakat. Kini uang dianggap sebagai media sumbangan yang jauh lebih praktis daripada barang apalagi jasa. Tradisi rewang yang dulu berkembang di masyarakat, sekarang mulai sirna seiring dengan hadirnya jasa wedding organizer.

 Kedua, beban bagi masyarakat ekonomi kelas menengah ke bawah. Tradisi “wajib” mengembalikan sumbangan yang pernah diterima tentu bisa sangat memberatkan bagi mereka. Beban berat itu tidak hanya secara finansial tetapi juga psikologis. Ketika buwuh dianggap sebagai lambang kepedulian terhadap lingkungan sekitar maka ketika hal itu tidak dilakukan akan berakibat pada terganggunya hubungan sosial. Padahal lingkungan sosiallah yang akan menjadi “pusat bantuan” ketika suatu saat mereka berada dalam kesulitan.

Menyumbang adalah perbuatan mulia. Apalagi jika bertujuan untuk kemaslahatan masyarakat dan dilakukan dengan ikhlas tanpa pamrih. Tetapi ketika sumbangan itu dilakukan dengan memberatkan diri sendiri atau menimbulkan masalah dan kesulitan yang lain maka ada yang perlu diperbaiki dan diluruskan. Jangan sampai pergeseran nilai tradisi buwuhan membawa mudarat yang besar bagi kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat.

Memei mungkin tidak sendirian. Masalah yang dihadapinya bisa jadi juga dialami banyak wanita atau keluarga di luar sana. Kalau itu masalah pribadi mungkin dia sendiri yang bisa menyelesaikannya. Tetapi jika itu menyangkut tradisi di masyarakat maka siapa yang harus melakukannya?


***

Jendela inspirasi:

1.  Ketika kita membantu orang lain hendaknya dilakukan dengan tulus tanpa mengharapkan imbalan atau balasan.

2.      Pemberian sumbangan yang didasari keikhlasan lebih utama meskipun nilainya sedikit.

3.  Allah akan mencatat semua yang kita lakukan meskipun kita atau orang lain tak sempat menulisnya.

***

sumber gambar : https://repository.radenfatah.ac.id



[1] Sunarto, Budaya Mbecek dalam Perspektif Agama, Sosial dan Ekonomi, (Ponorogo: Prosiding Hasil Penelitian & PPM, 2015), 369

[2] Siah Khosyi’ah, Wakaf & Hibah Perspektif Ulama Fiqh dan Perkembangannya di Indonesia, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), 239.

[3] Departeman Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: Diponegoro, 2005), 218.

[4] Sairin, Sjafri dkk. 2002. Pengantar Sosiologi Ekonomi. Yogyakarta: pustaka Pelajar