Jika hidup sederhana bisa bahagia, kenapa harus menyusahkan diri dengan berpura-pura kaya?
Halan mulai merasa lega.
Matanya yang sejak tadi sulit ia buka karena mengantuk berat, kini bisa ia
buka lebar-lebar. Penat yang ia rasakan kini mulai sirna. Terguncang-guncang di
dalam mobil selama delapan jam menyusuri jalanan kota. Perjalanan yang amat
melelahkan. Tetapi itu tak seberapa bila dibandingkan dengan kebahagiaan pulang
ke kampung halaman, Bertemu dengan ibu yang sudah ia rindukan.
Perasaannya campur aduk.
Bahagia dan terharu. Mulutnya tersenyum tetapi bola matanya berkaca-kaca. Di
kejauhan, samar-samar mulai terlihat gapura perbatasan desa yang juga menjadi
gerbang masuk tanah kelahirannya. Meski sudah sepuluh tahun tidak ia lewati,
tetapi Halan masih hafal betul jalan itu. Wajar karena masa kecil hingga
remajanya ia habiskan di sana.
Halan meminta sopir
pribadinya agar melambatkan laju mobil. Ia ingin menikmati suasana di sepanjang
jalan masuk desa itu. Sambil memutar memorinya kembali ke masa lalu. Deretan
bangunan di sepanjang jalan itu ia amati satu per satu. Hampir semua berubah.
Semakin terlihat mewah dan megah. Kecuali tiga kios di kompleks ruko yang
ternyata tampilannya masih sama persis seperti sepuluh tahun yang lalu.
Halan pun tidak kesulitan
mengingat siapa pemilik tiga kios tersebut. Ya, tiga kios yang masing-masing
berjualan kue, peralatan listrik dan agen koran itu dimiliki oleh satu keluarga
keturunan Tionghoa. Kios itu sudah berdiri puluhan tahun. Bahkan saat Halan
kecil, kios itu sudah berdiri di sana.
Pernah suatu hari saat
Halan membeli koran, ia sempatkan ngobrol dengan pemiliknya. Om Wang, begitu
orang-orang biasa menyapanya. Halan menanyakan alasan kenapa tidak mau merenovasi
kiosnya, atau sekedar mengganti catnya agar lebih fresh dan menarik.
“Kenapa aku harus membebani diriku untuk melakukan sesuatu yang aku sendiri
belum mampu?” jawab Om Wang dengan santai. “Dengan tampilan begini saja, kiosku
sudah ramai. Ngapain tak bikin megah. Nanti malah orang-orang bingung
dikira kiosku pindah” sambungnya memberi penjelasan.
***
Kalau kita cermati
apa yang dikatakan Om Wang sebenarnya itu bagian dari strategi bisnisnya.
Pertama, tidak mau mengganti tampilan kios merupakan salah satu bentuk strategi
product positioning. Positioning produk adalah salah satu
tindakan yang dilakukan perusahaan untuk membuat produknya selalu diingat
oleh customer.
Menurut Kotler dan Keller (2009), positioning adalah pengaturan produk untuk menduduki tempat yang jelas, berbeda, dan diinginkan dibandingkan produk pesaing dalam pikiran konsumen sasaran. Tujuan dari positioning adalah untuk menempatkan merek dalam pikiran konsumen guna memaksimalkan manfaat potensial bagi perusahaan. Dengan tidak mengubah tampilannya, para pelanggan Om Wang akan sangat mudah menemukan kiosnya, meskipun kios-kios di sekitarnya telah berubah wajah.
Kedua, dengan tidak merenovasi bangunan kiosnya
sehingga tampilannya masih tetap terlihat klasik, sederhana dan jauh dari
kategori modern maka Om Wang terhindar dari pajak bangunan yang tinggi.
Bukankah ini juga bagian dari penghematan pengeluaran?
Tidak hanya tentang strategi bisnis yang memang
orang-orang Cina adalah jagonya, prinsip hidup mereka juga patut kita jadikan
referensi. Ada sebuah “rumus” yang dipegang kuat oleh Om Wang dan keluarganya.
Apa itu? Berapapun penghasilan yang ia dapatkan maka harus dibagi menjadi tiga
bagian. Sepertiga untuk makan, sepertiga untuk saving dan sepertiga
lainnya untuk investasi.
Rumus hidup tersebut telah mereka terapkan bertahun
dan diajarkan secara turun temurun. Itulah yang membuat bisnis mereka tetap survive
di saat para pengusaha di sekelilingnya banyak yang gulung tikar.
Di tengah zaman yang semakin maju dan modern, kita
sering terjebak ke dalam gaya hidup hedonisme. Mencari kesenangan tanpa
batas hingga lupa bahwa ada hidup dan kehidupan selanjutnya yang harus mereka
persiapkan. Seringkali berapapun uang yang kita dapatkan, habis untuk urusan
perut dan kesenangan.
Banyak dari kita membeli sesuatu berdasarkan keinginan
bukan karena kebutuhan. Bahkan tidak jarang hanya karena alasan gengsi dan
status sosial. Parahnya lagi, hal itu mereka lakukan di luar batas kemampuan
finansialnya. Mencari pinjaman adalah solusi instan yang mereka ambil tanpa
memikirkan bagaimana caranya pinjaman itu akan mereka kembalikan. Resiko
terberatnya, cash flow usahanya terganggu, bisnisnya tidak berkembang
hidupnya mulai dilanda kesulitan dan ending-nya aset yang mereka miliki
akan habis terjual.
Sebagai umat beragama seharusnya kita patuh dengan apa
yang telah diajarkan oleh agama kita. Termasuk ajaran tentang hidup sederhana.
Tidak ada satu pun agama di dunia ini yang memerintahkan umatnya untuk hidup
boros atau bermewah-mewahan.
Bagi umat Islam, Alquran telah mengajarkan kita untuk
menghindari hidup boros. "Sesungguhnya
orang-orang yang pemboros itu adalah saudara setan dan setan itu sangat ingkar
kepada Tuhannya." (QS. Al Isra [17]:
27). Allah juga melarang
hamba-Nya untuk hidup bermewah-mewahan. Bahkan dengan ancaman siksaan yang
berat. “Di akhirat orang
yang hidup bermewah-mewahan akan minta tolong atas siksaan yang ditimpakan” (Al Mukminun [23]:64).
“Kenapa aku harus membebani
diriku untuk melakukan sesuatu yang aku sendiri belum mampu”. Perkataan Om Wang
itu memberi pesan kepada kita, Jika hidup sederhana bisa bahagia, kenapa
harus menyusahkan diri dengan berpura-pura kaya?
***
Jendela inspirasi:
1. Hidup mewah di luar batas kemampuan hanya
akan mempersulit diri sendiri. Karena justru pola hidup sederhana akan membuat
kita merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya.
2. Membeli berdasarkan kebutuhan akan
mendapatkan manfaat. Sedangkan membeli berdasarkan keinginan semata berpotensi
memunculkan mudarat.
***
[1] Philip Kotler dan Kevin Lane Keller. 2009. Manajemen Pemasaran.
Jakarta: Erlangga.