Hiasi setiap kebaikanmu dengan ketulusan. Niscaya kebaikan lain akan datang dalam hidupmu dari arah yang tak pernah kau perkirakan.
Sudah setengah jam lebih,
Herman duduk sendirian di teras sebuah rumah. Lelaki paruh baya itu masih sabar
menunggu sang pemilik rumah keluar untuk menemuinya. Sebatang rokok terselip di
antara jari telunjuk dan jari tengahnya. Sesekali dihisapnya rokok itu
dalam-dalam agar kejenuhan dan rasa kantuknya segera
menghilang.
Hari itu sudah lima rumah
ia datangi tetapi tak seorang pun berhasil ia temui. Semua pintu terkunci rapat
sementara sang pemilik rumah memilih berdiam di dalam atau sengaja pergi
menghindar agar tidak bersua dengan juru tagih yang "menyeramkan"
itu.
Bagi Herman, jika bukan
karena tugas kantor pasti tak sudi ia berlama-lama menunggu seorang diri.
Bergegas pulang, menikmati sore, bercengkerama bersama anak dan istri, menjadi kegiatan
yang menyenangkan baginya. Tetapi ia tak bisa segera melakukannya karena harus
memenuhi target setoran angsuran. Apalagi hari itu sudah memasuki akhir bulan.
Di kampung yang mayoritas
warganya bekerja sebagai buruh pabrik itu, belasan kepala keluarga menjadi
nasabahnya. Besar pinjamannya beragam, mulai dari Rp500.000,00 hingga
Rp3.000.000,00. Angsuran dibayar setiap hari sebanyak 15 kali. Meskipun biaya
administrasinya besar dan bunga pinjamannya “mencekik leher” tetapi model
pinjaman seperti itu mereka pilih karena prosedurnya mudah dan persyaratannya
ringan. Dengan hanya bermodal fotokopi KTP, pinjaman akan cair tak lebih dari dua
hari kerja.
Rokok Herman sudah hampir
habis seiring kesabarannya yang juga mulai menipis. Saat dia hendak beranjak
dari rumah itu, tiba-tiba datang seorang wanita dengan mengendarai sepeda motor
bersama dengan dua anak kecil. Yang masih balita ia gendong sedangkan yang agak
besar duduk di jok belakang. Dilihat dari fisiknya, wanita itu masih berusia
cukup muda, kurang dari 30 tahun. Namanya Zaskia Meilasari, tetangganya
memanggil dengan sebutan Memei. Dialah sang pemilik rumah, orang yang sedang
ditunggu Herman.
Herman gembira karena
merasa penantiannya tak berakhir sia-sia dan tidak jadi pulang dengan tangan
kosong. Sebaliknya wanita itu tampak kaget dan bingung melihat Herman masih ada
di rumahnya. Terbayang olehnya umpatan dan kata-kata kasar akan keluar dari
mulut Herman seperti yang sering ia terima ketika juru tagih itu datang meminta
uang angsuran dan Memei hanya bisa memberikan janji.
“Eh, yang ditunggu akhirnya
datang juga,” sapa Herman dengan logat khasnya sebagai orang Batak, menyambut
kedatangan Memei sembari bangkit dari tempat duduknya.
“Iya Pak Herman, ini habis
menjemput anak pulang sekolah,” balas Memei dengan rona yang menampakkan kebingungan.
Siang itu, Memei harus
menyediakan uang Rp875.000,00 untuk membayar angsuran hari itu dan dua hari
sebelumnya yang belum ia bayar. Nominal sebesar itu sudah termasuk bunga
pinjaman dan denda keterlambatan. Memei yang seorang ibu rumah tangga dengan
dua anak dan bersuami seorang buruh harian di home industry milik
tetangganya memang sangat kesulitan untuk memenuhi kewajibannya membayar
angsuran. Selama ini gaji yang diperoleh suami Memei menjadi tumpuan
satu-satunya untuk memenuhi kebutuhan harian keluarganya.
Dengan pola hidup sederhana
yang diterapkan Memei, sebenarnya penghasilan suaminya sudah cukup untuk
menafkahi keluarganya. Yang menyebabkan dia akhirnya terjebak dalam lilitan
utang riba adalah karena harus mengeluarkan sumbangan untuk kerabatnya yang
mengadakan hajatan pernikahan.
Tradisi yang berlaku di
kampung itu, siapa pun yang pernah menerima sumbangan saat mengadakan hajatan
maka wajib baginya mengembalikan kepada sang pemberi sumbangan. Pengembalian
itu dilakukan dalam bentuk dan nilai yang sama ketika sang pemberi sumbangan sedang
punya hajat
Memei yang tiga bulan
sebelumnya menggelar acara syukuran khitanan anak sulungnya, harus mengeluarkan
banyak uang untuk memberikan sumbangan kepada beberapa tetangganya yang
mengadakan hajatan. Dengan penghasilan suaminya yang pas-pasan tentu ia harus
mencari sumber lain untuk mendapatkan uang sesuai yang ia butuhkan untuk
menyumbang. Rentenir yang berlabel koperasi akhirnya menjadi solusi instan bagi
masalah keuangannya.
“Gimana bu, sudah ada
uangnya?” tanya Herman menagih. Setelah lama menunggu, ia tak mau basa-basi dan
ingin agar urusannya dengan Memei segera selesai.
“Maaf Pak Herman, saya
belum ada uang. Suami saya belum pulang.” jawab Memei sambil gemeteran. Belum
sempat ia turun dari motor. Hanya anak sulungnya yang sudah bergegas masuk ke
dalam rumah. Air mulai keluar dari sudut matanya, mengalir membasahi kedua
pipinya.
“Lha terus gimana, Bu? ini
kan sudah akhir bulan. Ibu harus membayar semua tunggakan ibu sampai hari ini.”
Herman sudah mulai menampakkan karakter aslinya, keras dan galak.
“Kalau ibu tak ada uang,
kasih aku barang yang ibu punya,” lanjut Herman menggertak.
Memei semakin bingung. Ia
sama sekali tak punya uang untuk membayar angsuran pinjamannya. Kalau pun harus
membayarnya dengan barang, barang apa yang ia serahkan. Perabotan di rumahnya
pun juga tidak banyak. Diliputi perasaan takut membuat Memei tak bisa berpikir
jernih. Tanpa pikir panjang, ia melepas cincin emas yang ada di jari manisnya.
Itu adalah cincin pemberian suaminya ketika mereka melangsungkan pernikahan.
“Ini kamu bawa cincin ini.
Besok kalau saya sudah punya uang, tolong kembalikan cincin itu kepadaku,” ucap
Memei sambil menyerahkan satu-satunya perhiasan yang melekat di tubuhnya kepada
Herman. Herman hanya diam tak mengeluarkan sepatah kata pun. Dimasukkannya
cincin itu ke saku bajunya lalu bergegas pergi meninggalkan Memei yang masih
berlinang air mata sambil mengelus-elus sang buah hati yang terlelap dalam
gendongannya.
***
Di kalangan masyarakat Jawa
berkembang tradisi buwuh atau buwuhan. Menurut
Isnaini Rahmat sebagaimana dikutip oleh Sunarto bahwa tradisi atau budaya buwuhan
sering diartikan sebagai pemberian sumbangan baik berupa barang atau uang
kepada pihak yang sedang menyelenggarakan hajatan atau pesta.[1]
Adapun sumbangan yang berupa barang tersebut biasanya berupa rokok atau
kebutuhan pokok seperti beras, gula, minyak goreng, sayuran dan lain-lain.
Kata “pemberian” dalam Islam disebut hibah. Hibah
menurut bahasa adalah menyedekahkan atau memberi sesuatu, baik berbentuk harta
maupun selain itu kepada orang lain. Menurut istilah syar’i, hibah
adalah suatu akad yang mengakibatkan berpindahnya kepemilikan harta dari
seseorang kepada orang lain dengan tanpa balasan, dan dilakukan selama masih
hidup.[2]
Awalnya buwuhan adalah bagian dari solidaritas
secara kolektif masyarakat desa bagi tetangga atau kerabat yang sedang mengadakan
acara atau hajatan tertentu. Hal
ini bertujuan untuk mempererat silaturahmi dan memperkuat ukhuwah islamiyah.
Selain itu dengan memberikan sumbangan berarti ikut membantu meringankan beban
yang punya hajat. Dalam Alquran telah dijelaskan, “Tolong-menolonglah
kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya
Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. Al-Maidah[5]: 2)[3]
Ketika seseorang
menyelenggarakan hajatan, tujuan sebenarnya adalah sebagai ungkapan rasa syukur
atas nikmat yang diberikan oleh Allah. Biasanya dengan mengundang kerabat untuk
ikut merayakannya dan menikmati hidangan yang telah disediakan. Jadi tidak
bertujuan untuk mengumpulkan uang dan sumbangan dari para tamu. Maka bagi yang
diundang, tidak ada kewajiban untuk membawa uang atau memberikan sumbangan.
Akan tetapi jika tamu yang
diundang ingin memberikan hadiah sebagai ungkapan selamat dan turut berbahagia
maka hal itu sangat dianjurkan dalam Islam. Rasulullah saw. pernah bersabda
dalam sebuah hadis, “Saling memberi hadiahlah kalian niscaya kalian akan
saling mencintai.” (HR. Bukhari nomor 594).
Seiring dengan modernisasi dan perubahan sosial,
konsep buwuhan pun mulai mengalami perubahan dan pergeseran. Buwuhan tidak
lagi sebagai bagian dari solidaritas dan bantuan tetapi terdapat prinsip
resiprositas. Resiprositas adalah
sebuah aktivitas pertukaran yang mengandung unsur timbal-balik antarpelakunya,
baik itu individu maupun kelompok.[4]
Berdasarkan realita di masyarakat, ada dua bentuk buwuhan
yaitu: pertama, buwuhan yang bersifat sukarela dan tidak
mengharapkan pengembalian. Biasanya baik pihak penyumbang maupun tuan rumah
tidak mencatat bentuk dan besarnya sumbangan yang diberikan.
Kedua, buwuhan yang dimaknai utang piutang dan
suatu saat harus dikembalikan oleh sang penerima ketika sang penyumbang gantian
mengadakan hajatan. Sebagian masyarakat Jawa menyebutnya dengan istilah iriban.
Agar pengembaliannya sama, biasanya sang penyumbang menuliskan namanya pada
buwuhan yang diberikan. Sang penerima pun mencatatnya di buku atau
daftar khusus yang telah dipersiapkan.
Dengan adanya perubahan nilai dalam tradisi buwuhan
yang dulunya bersifat suka rela bergeser pada upaya pengumpulan materi,
berdampak pada dua hal yaitu: pertama, hilangnya semangat gotong royong di
masyarakat. Kini uang dianggap
sebagai media sumbangan yang jauh lebih praktis daripada barang apalagi jasa. Tradisi
rewang yang dulu berkembang di masyarakat, sekarang mulai
sirna seiring dengan hadirnya jasa wedding organizer.
Kedua, beban
bagi masyarakat ekonomi kelas menengah ke bawah. Tradisi “wajib” mengembalikan
sumbangan yang pernah diterima tentu bisa sangat memberatkan bagi mereka. Beban
berat itu tidak hanya secara finansial tetapi juga psikologis. Ketika buwuh dianggap
sebagai lambang kepedulian terhadap lingkungan sekitar maka ketika hal itu
tidak dilakukan akan berakibat pada terganggunya hubungan sosial. Padahal
lingkungan sosiallah yang akan menjadi “pusat bantuan” ketika suatu saat mereka
berada dalam kesulitan.
Menyumbang adalah perbuatan mulia. Apalagi jika
bertujuan untuk kemaslahatan masyarakat dan dilakukan dengan ikhlas tanpa
pamrih. Tetapi ketika sumbangan itu dilakukan dengan memberatkan diri sendiri
atau menimbulkan masalah dan kesulitan yang lain maka ada yang perlu diperbaiki
dan diluruskan. Jangan sampai pergeseran nilai tradisi buwuhan membawa
mudarat yang besar bagi kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat.
Memei mungkin tidak sendirian. Masalah yang
dihadapinya bisa jadi juga dialami banyak wanita atau keluarga di luar sana.
Kalau itu masalah pribadi mungkin dia sendiri yang bisa menyelesaikannya.
Tetapi jika itu menyangkut tradisi di masyarakat maka siapa yang harus melakukannya?
***
Jendela inspirasi:
1. Ketika kita membantu orang lain hendaknya
dilakukan dengan tulus tanpa mengharapkan imbalan atau balasan.
2. Pemberian sumbangan yang didasari keikhlasan
lebih utama meskipun nilainya sedikit.
3. Allah akan mencatat semua yang kita lakukan
meskipun kita atau orang lain tak sempat menulisnya.
***
sumber gambar : https://repository.radenfatah.ac.id
[1] Sunarto, Budaya
Mbecek dalam Perspektif Agama, Sosial dan Ekonomi, (Ponorogo: Prosiding
Hasil Penelitian & PPM, 2015), 369
[2] Siah Khosyi’ah, Wakaf
& Hibah Perspektif Ulama Fiqh dan Perkembangannya di Indonesia,
(Bandung: Pustaka Setia, 2010), 239.
[3] Departeman Agama RI, Al-Qur’an
dan Terjemahnya, (Bandung: Diponegoro, 2005), 218.
[4] Sairin, Sjafri dkk.
2002. Pengantar Sosiologi Ekonomi. Yogyakarta: pustaka Pelajar
0 comments:
Posting Komentar