..

Buku Antologi Esai dan Opini

Minat Baca Bukunya? Silahkan DM akun instagram @bud11smail

Buku Antologi Berbagai Genre

Minat Baca Bukunya? Silahkan DM akun instagram @bud11smail

Buku Antologi Berbagai Genre

Minat Baca Bukunya? Silahkan DM akun instagram @bud11smail

Buku Antologi Kisah Nyata Inspiratif

Minat Baca Bukunya? Silahkan DM akun instagram @bud11smail

Buku Antologi Narasi Eksposisi

Minat Baca Bukunya? Silahkan DM akun instagram @bud11smail

31 Mei 2024

Ekspansi Perusahaan Asing di Jepara, Menggiurkan dan Meresahkan

 


Foto: Homecare24
 

Berada di wilayah paling utara di Provinsi Jawa Tengah, Kabupaten Jepara menjadi primadona di mata para investor asing. Setidaknya dalam lima tahun terakhir. Bahkan nilai penanaman modal asing di Kabupaten Jepara selama tahun 2022 mencapai angka Rp9.400.000.000.000,00. Capaian ini merupakan yang tertinggi di Provinsi Jawa Tengah.[1]

Sebenarnya Jepara tidak asing dengan para investor dari luar negeri. Sejak awal era 90-an, investor-investor asing sudah banyak berdatangan ke Jepara. Sebagai kota yang terkenal dengan industri mebel dan potensi alamnya, menjadikan Jepara sangat menarik untuk dijadikan ladang bisnis mereka. Akan tetapi pada akhir 90-an, di saat Indonesia sedang dilanda krisis ekonomi dan tuntutan reformasi pemerintahan, banyak investor asing yang hengkang dari Jepara.

Saat ini para investor asing yang masuk ke Jepara lebih banyak berasal dari Korea. Tidak seperti era 90-an, saat itu kebanyakan investor asing datang dari negara-negara Eropa seperti Belanda, Jerman dan Italia. Sektor bisnis yang diminati pun tidak lagi mebel dan pariwisata melainkan industri garmen. Hingga akhir tahun 2022 setidaknya ada delapan perusahaan besar milik investor Korea yang beroperasi di Jepara. Tiga yang terbesar adalah PT. Hwaseung Indonesia, PT. Kanindo Makmur Jaya dan PT. Jiale Indonesia Textile.

Perekonomian bangkit, kesejahteraan meningkat.

Menjamurnya pabrik-pabrik milik asing menjadi berkah tersendiri bagi masyarakat Jepara. Ribuan tenaga kerja lokal Jepara dan dari luar daerah dapat terserap. Hal ini tidak hanya berdampak pada berkurangnya jumlah pengangguran tetapi juga naiknya daya beli masyarakat. 

Usaha mikro, kecil dan menengah mulai menggeliat. Masyarakat di sekitar pabrik ramai membuka jasa laundry. Bisnis rumah indekos juga bermunculan. Usaha kuliner maju pesat. Mulai dari rumah makan, pedagang kaki lima hingga coffee shop ikut kebagian berkahnya. Belum lagi konter pulsa, jasa layanan pembayaran online ataupun toko-toko retail.

Perekonomian bangkit, tingkat kesejahteraan masyarakat pun meningkat. Setidaknya bisa dilihat dari banyaknya sepeda motor baru yang hilir mudik di jalanan. Kini hampir tidak ada lagi keluarga yang tidak memiliki sepeda motor. Bahkan dalam satu rumah mempunyai lebih dari satu sepeda motor, merupakan hal yang biasa. Jalan-jalan kampung diperlebar dan diperhalus dengan lapisan beton ataupun aspal.

Dampak sosial yang meresahkan

Ekspansi perusahaan asing di Jepara, tidak hanya membawa dana investasi dari pemodal asing. Tetapi juga mengikutsertakan “rombongan” tenaga asing. Umumnya, mereka adalah para staf ahli dan orang-orang kepercayaan investor yang memang dikirim untuk memastikan bisnisnya berjalan sesuai target yang diinginkan.

Orang asing yang berasal dari luar daerah maupun luar negeri membawa kebiasaan, perilaku, dan budaya yang ada di daerah asalnya. Tidak semua yang mereka bawa itu baik dan sesuai dengan norma masyarakat setempat. Sehingga kalau yang ia bawa adalah virus “penyakit” maka dikhawatirkan generasi muda Jepara akan terjangkit juga.

Capek seharian bekerja, jauh dari keluarga, jenuh berdiam diri di rumah indekos. Apalagi yang bisa dilakukan selain keluar mencari hiburan? Nongkrong lesehan di trotoar jalanan kota, menikmati seduhan kopi ala barista kaki lima. Bercengkerama diiringi gelak tawa bersama kolega menjadi hiburan yang paling sederhana.

Bagi yang berani merogoh koceknya lebih dalam, private room menjadi arena pilihan mereka. Berdendang dengan suka ria ditemani pemandu karaoke yang sudah mereka sewa. Menghabiskan malam, seakan lupa bahwa esok hari mereka harus kembali bekerja.

 Sebagian yang lain akan mengunjungi kafe-kafe instagramable. Menonton live music, mencicipi menu-menu dengan nama unik atau sekadar mencari angle untuk berfoto selfie.  Awalnya mereka yang harus menyesuaikan diri dengan menu kafe yang disediakan. Tetapi lama-lama, pihak pengelola kafe yang “dipaksa” menuruti selera dan permintaan pelanggannya. Sehingga minuman-minuman terlarang kini mudah didapatkan. Bahkan di kedai-kedai kopi kelas teri.

Banyaknya rumah indekos “tak bertuan” juga menimbulkan banyak persoalan. Laki-laki, perempuan berpasang-pasangan tanpa status yang jelas. Tinggal dalam satu kamar secara bebas tanpa batas. Parahnya, tak sedikit dari mereka mempunyai pasangan yang sah. Akibatnya, perselingkuhan itu akan memicu pertengkaran dalam rumah tangga hingga tak jarang berujung perceraian.

Deretan masalah sosial tak hanya berhenti sampai di situ. Pergeseran nilai di masyarakat tentang norma keluarga juga harus menjadi perhatian. Dari sekian perusahaan asing yang beroperasi di Jepara, hampir seluruhnya memprioritaskan tenaga kerja perempuan daripada laki-laki. Akibatnya, sekarang banyak dijumpai para istri  sibuk bekerja di pabrik sedangkan sang suami di rumah mengurus anak. Jika suami juga bekerja maka anak “dititipkan” kepada orang tua atau mertua.

Fenomena “istri bekerja, suami mengurus anak” kini mulai lazim di Jepara. Hal ini berpotensi menimbulkan dua masalah. Pertama, karena penghasilan istri lebih besar daripada suami maka bisa memicu pertengkaran dalam rumah tangga. Suami minta dihormati sebagai kepala keluarga tetapi istri berani menolak karena merasa sebagai “pahlawan” keuangan rumah tangga. Apalagi jika satu-satunya sumber keuangan keluarga adalah penghasilan dari sang istri.

Kedua, anak yang kekurangan atau bahkan kehilangan perhatian orang tua, terutama ibunya maka akan berpengaruh terhadap tumbuh kembang si anak. Kedekatan emosionalnya dengan orang tua akan berkurang. “Jaminan” asupan gizi yang harus ia konsumsi sehari-hari juga mungkin tidak ia dapatkan.  Termasuk pendidikan dasar bagi si anak juga akan terabaikan. Padahal keluarga adalah sekolah pertama bagi anak-anak. Dan ibu adalah guru pertama bagi mereka.

Jepara juga terancam kehilangan identitasnya. Kerajinan tenun ikat dan seni ukir adalah dua ikon Jepara yang sudah mendunia. Dengan gaji menggiurkan yang ditawarkan perusahaan garmen, para generasi muda lebih memilih bekerja di pabrik daripada menjadi tukang ukir ataupun tenun. Tak hanya faktor nominal gaji, Bekerja di pabrik bagi sebagian orang menjadi prerstise tersendiri. Para pengusaha tenun dan mebel kini kesulitan mencari karyawan.

Lantas, siapa yang harus disalahkan?

  Tidak penting mencari siapa yang bersalah. Karena ini menjadi masalah kita bersama. Penyelesainnya pun menjadi tanggung jawab bersama. Masing-masing pihak harus mengambil peran agar penyakit masyarakat ini tidak semakin menjalar luas.

Pertama, keluarga. Orang tua harus mampu menjadi “arsitek” untuk membangun pondasi benteng pertahanan yang kuat bagi sang anak agar kebal terhadap godaan-godaan perilaku yang menyimpang. Dasar-dasar keimanan dan pengamalan ajaran agama harus menjadi perhatian utama orang tua terhadap anaknya. Anak jangan sampai lepas kontrol dan terjerumus ke dalam budaya yang menyesatkan.

Kedua, pelaku usaha. Pemilik rumah indekos, pengusaha kafe dan pelaku usaha lainnya juga harus peduli. Jangan sampai demi mengejar omset dan keuntungan bisnisnya, mereka abai terhadap “kesehatan sosial” di lingkungannya. Pengelola rumah indekos harus berani menegur penyewa yang melanggar aturan dan norma yang berlaku.

Ketiga, masyarakat. Masyarakat harus berperan aktif sebagai kontrol sosial. Jangan sampai ada prinsip “Itu urusanmu, ini urusanku. Lakukan sesukamu asal jangan mengganggu urusanku” Sikap tak acuh semacam itu harus dibuang jauh. Jika menyangkut lingkungan maka “perilakumu menjadi urusan kami” Para pendatang berani berperilaku menyimpang biasanya karena mereka nyaman dengan lingkungannya. Kalau sudah begitu, siapa yang harus bertanggung jawab?

Keempat, pemerintah daerah. Selaku policy maker, pemerintah daerah harus mengambil langkah-langkah strategis untuk “menyelamatkan” eksistensi tenun dan ukir Jepara. Jangan sampai ikon kabupaten ini punah karena ditinggalkan masyarakatnya sendiri. Keterampilan tenun dan ukir perlu dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah.  

Para pelajar harus dikenalkan dan diajak untuk mencintai, membanggakan dan melestarikan warisan seni dan keterampilan unggulan Jepara. Pemerintah juga perlu mengajak seluruh elemen yang terliibat dalam industri kerajinan tenun dan ukir untuk duduk bersama. Merumuskan kembali besaran gaji yang layak diterima karyawan dan mampu diberikan perusahaan.

    Ekspansi perusahaan asing memang menggiurkan. “Iming-iming” peningkatan kesejahteraan bak hembusan angin surga. Tetapi, jangan sampai karena kita terlalu lama tidak sejahtera, lantas euforia kesejahteraan itu kita luapkan dengan membabi buta.



[Tulisan dimuat dalam buku GOOD LIFE, GOOD INSPIRATION]






[1] Muhammad Khoirul Anwar, “Nilai Investasi di Kabupaten Jepara Tembus 9,5 Triliun, Tertinggi di Jateng”, https://radarkudus.jawapos.com (diakses pada 29 Mei 2023, pukul 23.50 WIB)