Berada di wilayah paling utara di Provinsi Jawa Tengah, Kabupaten Jepara
menjadi primadona di mata para investor asing. Setidaknya dalam lima tahun
terakhir. Bahkan nilai penanaman modal asing di Kabupaten Jepara selama tahun
2022 mencapai angka Rp9.400.000.000.000,00. Capaian ini merupakan yang
tertinggi di Provinsi Jawa Tengah.[1]
Sebenarnya Jepara tidak asing dengan para investor dari luar negeri.
Sejak awal era 90-an, investor-investor asing sudah banyak berdatangan ke
Jepara. Sebagai kota yang terkenal dengan industri mebel dan potensi alamnya, menjadikan
Jepara sangat menarik untuk dijadikan ladang bisnis mereka. Akan tetapi pada
akhir 90-an, di saat Indonesia sedang dilanda krisis ekonomi dan tuntutan
reformasi pemerintahan, banyak investor asing yang hengkang dari Jepara.
Saat ini para investor asing yang masuk ke Jepara lebih banyak berasal
dari Korea. Tidak seperti era 90-an, saat itu kebanyakan investor asing datang
dari negara-negara Eropa seperti Belanda, Jerman dan Italia. Sektor bisnis yang
diminati pun tidak lagi mebel dan pariwisata melainkan industri garmen. Hingga akhir
tahun 2022 setidaknya ada delapan perusahaan besar milik investor Korea yang
beroperasi di Jepara. Tiga yang terbesar adalah PT. Hwaseung Indonesia, PT.
Kanindo Makmur Jaya dan PT. Jiale Indonesia Textile.
Perekonomian bangkit, kesejahteraan
meningkat.
Menjamurnya pabrik-pabrik milik asing menjadi berkah tersendiri bagi
masyarakat Jepara. Ribuan tenaga kerja lokal Jepara dan dari luar daerah dapat
terserap. Hal ini tidak hanya berdampak pada berkurangnya jumlah pengangguran
tetapi juga naiknya daya beli masyarakat.
Usaha mikro, kecil dan menengah mulai menggeliat. Masyarakat di sekitar
pabrik ramai membuka jasa laundry. Bisnis rumah indekos juga
bermunculan. Usaha kuliner maju pesat. Mulai dari rumah makan, pedagang kaki
lima hingga coffee shop ikut kebagian berkahnya. Belum lagi konter
pulsa, jasa layanan pembayaran online ataupun toko-toko retail.
Perekonomian bangkit, tingkat kesejahteraan masyarakat pun meningkat. Setidaknya
bisa dilihat dari banyaknya sepeda motor baru yang hilir mudik di jalanan. Kini
hampir tidak ada lagi keluarga yang tidak memiliki sepeda motor. Bahkan dalam
satu rumah mempunyai lebih dari satu sepeda motor, merupakan hal yang biasa.
Jalan-jalan kampung diperlebar dan diperhalus dengan lapisan beton ataupun
aspal.
Dampak sosial yang meresahkan
Ekspansi perusahaan asing di Jepara, tidak hanya membawa dana investasi
dari pemodal asing. Tetapi juga mengikutsertakan “rombongan” tenaga asing.
Umumnya, mereka adalah para staf ahli dan orang-orang kepercayaan investor yang
memang dikirim untuk memastikan bisnisnya berjalan sesuai target yang
diinginkan.
Orang asing yang berasal dari luar daerah maupun luar negeri membawa kebiasaan,
perilaku, dan budaya yang ada di daerah asalnya. Tidak semua yang mereka bawa
itu baik dan sesuai dengan norma masyarakat setempat. Sehingga kalau yang ia
bawa adalah virus “penyakit” maka dikhawatirkan generasi muda Jepara akan
terjangkit juga.
Capek seharian bekerja, jauh dari keluarga, jenuh berdiam diri di rumah
indekos. Apalagi yang bisa dilakukan selain keluar mencari hiburan? Nongkrong
lesehan di trotoar jalanan kota, menikmati seduhan kopi ala barista kaki lima.
Bercengkerama diiringi gelak tawa bersama kolega menjadi hiburan yang paling
sederhana.
Bagi yang berani merogoh koceknya lebih dalam, private room menjadi
arena pilihan mereka. Berdendang dengan suka ria ditemani pemandu karaoke yang
sudah mereka sewa. Menghabiskan malam, seakan lupa bahwa esok hari mereka harus
kembali bekerja.
Sebagian yang lain akan
mengunjungi kafe-kafe instagramable. Menonton live music, mencicipi
menu-menu dengan nama unik atau sekadar mencari angle untuk berfoto selfie. Awalnya mereka yang harus menyesuaikan diri
dengan menu kafe yang disediakan. Tetapi lama-lama, pihak pengelola kafe yang
“dipaksa” menuruti selera dan permintaan pelanggannya. Sehingga minuman-minuman
terlarang kini mudah didapatkan. Bahkan di kedai-kedai kopi kelas teri.
Banyaknya rumah indekos “tak bertuan” juga menimbulkan banyak persoalan. Laki-laki,
perempuan berpasang-pasangan tanpa status yang jelas. Tinggal dalam satu kamar secara
bebas tanpa batas. Parahnya, tak sedikit dari mereka mempunyai pasangan yang
sah. Akibatnya, perselingkuhan itu akan memicu pertengkaran dalam rumah tangga
hingga tak jarang berujung perceraian.
Deretan masalah sosial tak hanya berhenti sampai di situ. Pergeseran
nilai di masyarakat tentang norma keluarga juga harus menjadi perhatian. Dari
sekian perusahaan asing yang beroperasi di Jepara, hampir seluruhnya
memprioritaskan tenaga kerja perempuan daripada laki-laki. Akibatnya, sekarang
banyak dijumpai para istri sibuk bekerja
di pabrik sedangkan sang suami di rumah mengurus anak. Jika suami juga bekerja
maka anak “dititipkan” kepada orang tua atau mertua.
Fenomena “istri bekerja, suami mengurus anak” kini mulai lazim di Jepara.
Hal ini berpotensi menimbulkan dua masalah. Pertama, karena penghasilan istri
lebih besar daripada suami maka bisa memicu pertengkaran dalam rumah tangga.
Suami minta dihormati sebagai kepala keluarga tetapi istri berani menolak
karena merasa sebagai “pahlawan” keuangan rumah tangga. Apalagi jika
satu-satunya sumber keuangan keluarga adalah penghasilan dari sang istri.
Kedua, anak yang kekurangan atau bahkan kehilangan perhatian orang tua,
terutama ibunya maka akan berpengaruh terhadap tumbuh kembang si anak.
Kedekatan emosionalnya dengan orang tua akan berkurang. “Jaminan” asupan gizi
yang harus ia konsumsi sehari-hari juga mungkin tidak ia dapatkan. Termasuk pendidikan dasar bagi si anak juga
akan terabaikan. Padahal keluarga adalah sekolah pertama bagi anak-anak. Dan
ibu adalah guru pertama bagi mereka.
Jepara juga terancam kehilangan identitasnya. Kerajinan tenun ikat dan
seni ukir adalah dua ikon Jepara yang sudah mendunia. Dengan gaji menggiurkan
yang ditawarkan perusahaan garmen, para generasi muda lebih memilih bekerja di
pabrik daripada menjadi tukang ukir ataupun tenun. Tak hanya faktor nominal
gaji, Bekerja di pabrik bagi sebagian orang menjadi prerstise tersendiri.
Para pengusaha tenun dan mebel kini kesulitan mencari karyawan.
Lantas, siapa yang harus disalahkan?
Tidak penting mencari siapa yang
bersalah. Karena ini menjadi masalah kita bersama. Penyelesainnya pun menjadi
tanggung jawab bersama. Masing-masing pihak harus mengambil peran agar
penyakit masyarakat ini tidak semakin menjalar luas.
Pertama, keluarga. Orang tua harus mampu menjadi “arsitek” untuk
membangun pondasi benteng pertahanan yang kuat bagi sang anak agar kebal
terhadap godaan-godaan perilaku yang menyimpang. Dasar-dasar keimanan dan
pengamalan ajaran agama harus menjadi perhatian utama orang tua terhadap
anaknya. Anak jangan sampai lepas kontrol dan terjerumus ke dalam budaya yang
menyesatkan.
Kedua, pelaku usaha. Pemilik rumah indekos, pengusaha kafe dan pelaku
usaha lainnya juga harus peduli. Jangan sampai demi mengejar omset dan
keuntungan bisnisnya, mereka abai terhadap “kesehatan sosial” di lingkungannya.
Pengelola rumah indekos harus berani menegur penyewa yang melanggar aturan dan
norma yang berlaku.
Ketiga, masyarakat. Masyarakat harus berperan aktif sebagai kontrol
sosial. Jangan sampai ada prinsip “Itu urusanmu, ini urusanku. Lakukan sesukamu
asal jangan mengganggu urusanku” Sikap tak acuh semacam itu harus dibuang
jauh. Jika menyangkut lingkungan maka “perilakumu menjadi urusan kami”
Para pendatang berani berperilaku menyimpang biasanya karena mereka nyaman
dengan lingkungannya. Kalau sudah begitu, siapa yang harus bertanggung jawab?
Keempat, pemerintah daerah. Selaku policy
maker, pemerintah daerah harus mengambil langkah-langkah strategis untuk
“menyelamatkan” eksistensi tenun dan ukir Jepara. Jangan sampai ikon kabupaten
ini punah karena ditinggalkan masyarakatnya sendiri. Keterampilan tenun dan
ukir perlu dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah.
Para pelajar harus dikenalkan dan
diajak untuk mencintai, membanggakan dan melestarikan warisan seni dan keterampilan
unggulan Jepara. Pemerintah juga perlu mengajak seluruh elemen yang terliibat
dalam industri kerajinan tenun dan ukir untuk duduk bersama. Merumuskan kembali
besaran gaji yang layak diterima karyawan dan mampu diberikan perusahaan.
[1] Muhammad
Khoirul Anwar, “Nilai Investasi di Kabupaten Jepara Tembus 9,5 Triliun, Tertinggi
di Jateng”, https://radarkudus.jawapos.com (diakses pada 29 Mei 2023, pukul
23.50 WIB)
0 comments:
Posting Komentar