..

Buku Antologi Esai dan Opini

Minat Baca Bukunya? Silahkan DM akun instagram @bud11smail

Buku Antologi Berbagai Genre

Minat Baca Bukunya? Silahkan DM akun instagram @bud11smail

Buku Antologi Berbagai Genre

Minat Baca Bukunya? Silahkan DM akun instagram @bud11smail

Buku Antologi Kisah Nyata Inspiratif

Minat Baca Bukunya? Silahkan DM akun instagram @bud11smail

Buku Antologi Narasi Eksposisi

Minat Baca Bukunya? Silahkan DM akun instagram @bud11smail

03 Oktober 2024

Menyongsong Indonesia (C)emas 2045

 

https://encrypted-tbn0.gstatic.com/


Lima tahun silam, tepatnya pada tanggal 9 Mei 2019, Presiden Joko Widodo meresmikan Visi Indonesia Emas 2045. Gagasan ini dirumuskan oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional. Visi Indonesia Emas 2045 bertujuan untuk menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat, maju, adil, dan makmur pada tahun 2045.[1]

Visi Indonesia Emas 2045 dibangun dengan empat pilar berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.[2] Dalam empat pilar tersebut, pemerintah menempatkan Pembangunan Manusia serta Penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi sebagai pilar pertama. Sepertinya, pemerintah sadar bahwa kualitas sumber daya manusia menjadi faktor penting demi tercapainya Visi Indonesia Emas 2045.

Pemerintah telah menargetkan Indonesia menjadi negara unggul di tahun 2045. Saat itu, Indonesia genap berusia 100 tahun. Harapannya, di tahun tersebut Indonesia akan menikmati masa emasnya dan mampu bersaing dengan negara-negara maju lainnya di berbagai sektor. Namun, jalan menuju ke sana masih sangat panjang dan terjal. Upaya untuk mewujudkan impian tersebut tidaklah mudah. Apalagi kondisi Indonesia belakangan ini sedang tidak baik-baik saja. Berbagai permasalahan tentang kualitas sumber daya manusia masih menjadi tantangan untuk segera dicarikan solusinya.

Krisis Keteladanan dari Para Pejabat Negara

Sebagai penyelenggara negara, pejabat negara mempunyai tugas untuk memastikan layanan publik harus terlaksana dengan baik. Kepentingan masyarakat harus menjadi prioritas utama sehingga hak-hak mereka dapat terpenuhi. Karena sejatinya pejabat negara adalah para pelayan masyarakat.

Dalam melaksanakan tugasnya, pejabat negara diatur oleh undang-undang. Mereka juga diwajibkan untuk mengucapkan sumpah jabatan sebagai bentuk kesediaan dan komitmen mengabdikan diri untuk melayani masyarakat. Tak hanya itu, seorang pejabat negara harus mampu menjadi sosok panutan bagi masyarakat.

Sayangnya, yang terjadi kini bak jauh panggang dari api. Pejabat negara yang semestinya merupakan orang-orang terhormat dan berpendidikan, justru sering berperilaku amoral dan memalukan. Ada pejabat yang melakukan tindakan pelecehan dan mesum di ruang publik. Ada pejabat yang terbukti menguras uang negara untuk kepentingan diri dan keluarga. Ada pula yang merampas dana bantuan sosial untuk memperkaya diri.

Setiap hari kita dipertontonkan aksi-aksi tak terpuji dari pejabat negeri. Hal ini tak hanya meruntuhkan kepercayaan masyarakat kepada pejabat negara, tetapi juga menjadi contoh buruk yang bisa ditiru oleh siapa saja. Lihatlah, hari ini hampir seluruh lapisan institusi negara telah terpapar virus korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Kita pernah mengutuk kezaliman orde baru dengan Soeharto sebagai raja KKN. Namun, hari ini lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif justru ramai-ramai mewarisi ‘peninggalan’ orde baru tersebut.

Lembaga Pendidikan Makin Tak Mendidik

Bidang pendidikan sejatinya menjadi tumpuan utama untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Lembaga pendidikan baik formal maupun nonformal, umum ataupun keagamaan, memiliki peran penting untuk mencetak bibit-bibit unggul sebagai generasi penerus bangsa. Generasi yang tidak hanya pinter, tetapi juga pener. Tidak hanya berilmu, tetapi juga berakhlak. Sehingga ketika mereka kelak menjadi pejabat, akan menjadi pejabat yang jujur dan amanah. Kalaupun menjadi rakyat biasa, mereka akan menjadi rakyat yang patuh, disiplin, dan tak mudah berkonflik dengan siapapun.

Tanggung jawab besar yang diemban dunia pendidikan sejauh ini belum membuahkan hasil seperti yang diinginkan. Para pemangku kebijakan di bidang pendidikan seakan belum mampu menemukan formula yang pas untuk diterapkan di Indonesia. Menteri datang silih berganti, kurikulum diubah berkali-kali, tetapi kualitas pendidikan di Indonesia tak juga bisa diperbaiki. Entah, ini salah pembuat kebijakannya atau karena ketidakmampuan lembaga pendidikan dalam mengimplementasikan kebijakan. Satu hal yang pasti, dunia pendidikan di Indonesia masih saja terjebak dalam praktik-praktik pragmatisme. Parahnya lagi, ini tidak hanya dilakukan oleh murid tetapi juga guru, sekolah, yayasan, bahkan sang pembuat kebijakan sendiri.

Padahal pendidikan berkualitas yang merata merupakan salah satu misi pemerintah untuk mewujudkan visi Indonesia Emas 2045. Namun, faktanya ketimpangan kualitas pendidikan masih terlihat nyata. Di berbagai daerah masih banyak sekolah yang tak layak huni. Bangunan rusak parah, aksesnya susah, dan fasilitas penunjang kegiatan belajar mengajar tidak memadai.

Dunia pendidikan Indonesia juga dihadapkan pada persoalan dalam ranah etis. Berbagai kasus asusila terhembus dari lembaga pendidikan. Dosen melecehkan mahasiswa. Guru bertindak tak senonoh kepada murid. Murid berani menghajar gurunya. Tawuran antarpelajar masih merajalela, bullying dan body shaming masih terjadi di banyak sekolah.

Lembaga pendidikan seharusnya menjadi tempat untuk mengajarkan nilai-nilai kebaikan dan kejujuran. Namun, ketika ada orang tua yang rela memalsukan data agar anaknya bisa diterima di sekolah impian atau ada guru yang memberi nilai ‘gratisan’ kepada murid demi prestise sekolah, tentu ini menjadi pelajaran yang tidak baik bagi anak-anak.

Generasi Penerus Makin Tak Terurus

Jika Indonesia ingin mencapai masa emasnya di tahun 2045, tentu pemerintah harus menyiapkan generasi penerus yang andal dan tangguh mulai sekarang. Jika tidak, bisa jadi rencana jangka panjang yang sudah disusun matang oleh pemerintah akan berantakan di tengah jalan.

 Di tengah gempuran arus globalisasi dan melempemnya peran lembaga pendidikan di negara kita, menyiapkan generasi penerus yang berkualitas akan menjadi pekerjaan berat bagi pemerintah. Pemerintah harus benar-benar serius menangani permasalahan ini. Jangan sampai generasi penerus bangsa salah urus atau bahkan tak terurus.

Miris melihat pemuda-pemuda kita sekarang tumbuh menjadi generasi yang dimanjakan teknologi dan ‘dirusak’ oleh globalisasi. Kemajuan zaman yang tidak membuat mereka semakin pintar malah justru makin malas untuk belajar. Sedikit demi sedikit, generasi muda Indonesia mulai tak kenal sejarah tanah airnya, budaya bangsanya, dan warisan luhur para pendahulunya. Sulit berharap mereka akan tumbuh menjadi pribadi yang andal dan tangguh dengan jiwa nasionalisme dan patriotisme yang kokoh. Sementara tokoh-tokoh yang memperjuangkan kemerdekaan tanah airnya saja, tak lagi mereka kenal. Ini tak boleh dibiarkan.

Saat ini, banyak orang tua yang gagal menjalankan perannya untuk memberikan pendidikan dasar bagi anak-anaknya. Makin banyak kita jumpai orang tua yang sibuk mengurus bisnis sementara anaknya kesepian dalam tangis. Mereka mempunyai prinsip bahwa yang terpenting kebutuhan anak yang bersifat materiil telah terpenuhi. Padahal, ada kebutuhan nonmateriil, seperti kasih sayang, pendidikan agama, dan pendidikan akhlak yang juga penting untuk diperhatikan para orang tua.   

Faktor kunci ketercapaian visi Indonesia Emas 2045 adalah kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia. Jika saat ini kualitas SDM masih menjadi masalah serius di negara kita, maka perlu langkah-langkah serius untuk mengatasi masalah tersebut. Lantas, siapa yang harus bertanggung jawab? Pemerintah, lembaga pendidikan, ataukah orang tua? Ketiganya mempunyai tanggung jawab dengan fungsi dan perannya masing-masing,

Pembangunan SDM yang berkualitas dimulai dari lingkungan keluarga. Orang tua harus mampu menjadi guru pertama bagi anak-anaknya. Rumah harus menjadi sekolah pertama bagi mereka. Pembentukan karakter anak tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat. Butuh proses panjang melalui pembiasaan yang kontinu dan konsisten sejak dini. Di situlah peranan orang tua dan lingkungan keluarga sangat dibutuhkan.

Bagaimana dengan peran lembaga pendidikan? Lembaga pendidikan harus fokus pada esensi tujuan pendidikan nasional yang secara umum termaktub dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 yakni “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Program-program formalitas, kegiatan yang hanya bersifat seremonial, ataupun pola pikir pragmatisme dalam dunia pendidikan harus mulai ditinggalkan. Lembaga pendidikan tidak hanya sekadar melaksanakan pembelajaran, tetapi harus mewujudkan pendidikan manusia seutuhnya. Perilaku-perilaku negatif di lembaga pendidikan juga harus dihilangkan agar para peserta didik merasa aman dan nyaman dalam belajar.

Jika orang tua dan lembaga pendidikan telah menjalankan fungsinya dengan baik, maka pemerintah harus memberikan dukungan yang optimal untuk mewujudkan pembangunan manusia yang berkualitas. Pembangunan manusia yang berkualitas tidak hanya melalui pendidikan saja. Infrastruktur yang memadai, kualitas kesehatan yang baik, perekonomian nasional yang stabil, dan aspek-aspek lainnya juga harus mendukung.  Selain itu, sikap dan perilaku pejabat pemerintahan juga harus memberikan teladan yang baik kepada masyarakat. Bagaimana mungkin pemerintah akan berhasil membangun kualitas SDM kalau mereka sendiri tidak berkualitas.    

Visi sudah dicanangkan. Mimpi Indonesia untuk menikmati masa keemasannya harus tetap kita pelihara. Dengan masih banyaknya permasalahan yang dihadapi oleh bangsa ini, wajar jika kita menyongsong visi Indonesia Emas dengan gemas dan cemas. Namun, kita harus tetap optimis dan gigih agar langkah kita tidak tertatih.

***

Baca tulisan menarik lainnya di buku ini !






[1] Bappenas, Ringkasan Eksekutif Visi Indonesia 2045, https://perpustakaan.bappenas.go.id, diakses tanggal 23 Agustus 2024, pukul 19.40 WIB

[2] Andrean W. Finaka, 4 Pilar Indonesia 2045, https://indonesiabaik.id, diakses tanggal 23 Agustus 2024, pukul 19.51 WIB.